Tyas tidak berkonsentrasi pada makan malamnya. Pikirannya melayang pada sebuah pesan yang datang dari Leo. Kenapa pria itu mau bertemu dengannya? Ada apa? Apa terjadi sesuatu? Tyas hanya bisa menerka-nerka dalam hati tapi tetap saja ia tak menemukan jawabannya sebab satu-satunya yang memiliki jawaban adalah Leo. Jika Tyas ingin tahu jawabannya, maka artinya ia harus bertemu dengan lelaki itu.
"Tyas, ditanya Papa, Sayang," teguran dari Jena yang disertai dengan sentuhan di bahunya akhirnya berhasil membawa Tyas kembali dari lamunannya.
"Eh? iya, Ma?"
Jena tersenyum dan dengan isyarat gerakan kepala menunjuk kepada suaminya. "Kamu ditanya sama Papa tuh," ujarnya.
Tyas akhirnya menoleh ke arah Andi. "Kenapa, Pa?" tanyanya.
Andi geleng-geleng kepala. "Kamu nih, lagi makan kok melamun? Mikirin apa sih?" tanyanya.
Tyas meringis kecil, "Maaf, Pa. Gak mikirin apa-apa kok," jawabnya.
"Sabtu nanti kamu ada rencana ke luar gak?" tanya Andi.
Tyas menggelengkan kepalanya. "Enggak ada kok, Pa. Kenapa?"
"Bagus. Sabtu nanti Papa mau mengundang teman Papa makan malam di sini, kamu juga harus ada di rumah ya," ujar Andi. Meski sedikit bingung, Tyas memilih untuk mengangguk saja.
Saat sedang membantu Jena mencuci piring, Tyas bertanya pada Jena mengenai tamu papanya. "Memang siapa sih, Ma, yang diundang Papa? Atasannya? Atau rekan kerjanya?"
Jena menggelengkan kepalanya dan mengangkat kedua bahunya bersamaan. "Mama juga kurang tahu sih, Sayang," jawabnya.
Tyas mengerucutkan bibirnya. "Aneh deh. Lagipula kalau ini temannya Papa kenapa aku harus ikutan?" gumamnya.
Jena hanya tersenyum dan mengusap puncak kepala Tyas. "Sudah, gak usah dipikirkan. Sana kamu istirahat."
Tyas tersenyum dan mengangguk. Setelah mencuci tangan dan mengeringkannya, ia pun beranjak kembali ke kamarnya. Ya sudah lah, tak ada salahnya juga ikut menjamu tamu papanya. Mungkin tamu yang akan datang itu orang penting bagi papa, pikir Tyas
***
Setelah hari yang dikatakan oleh papanya tiba, akhirnya Tyas bisa mengetahui siapa tamu yang papanya maksud. Hasan, Hani, dan... Leo.
Sementara papanya dan Hasan berpelukan, juga Jena dan Hani bersalaman, Tyas memilih untuk diam saja di samping Jena. Ia tidak sedikitpun mendongakkan kepalanya untuk menatap Leo sekalipun pria di hadapannya itu sejak tadi menatapnya sambil tersenyum.
"Aduh, Tyas, lama gak kelihatan tambah cantik aja nih. Leo bilang kamu lagi sibuk kuliah ya?" ujar Hani. Tyas hanya tersenyum canggung sambil mengecup punggung tangan Hani juga Hasan.
"Iya, sebulan lalu habis ikut pelatihan dari kampus dia," ujar Andi yang secara tidak langsung sudah membantu Tyas menjawab pertanyaan Hani. Padahal sebenarnya Tyas gak sibuk-sibuk banget kok. Ya sesibuk-sibuknya kuliah kan gak mungkin 24 jam di kampus, toh nyatanya Tyas masih bisa beberapa kali hangout atau pun ambil job bareng Melisa.
"Ngomong-ngomong, kok cuma bertiga? Mana yang lain?" tanya Andi.
"Lia kan sekarang sudah sama suaminya, si bungsu juga sudah lama balik lagi ke Bandung buat kuliah," jawab Hasan.
Andi kemudian mempersilahkan ketiganya untuk masuk dan duduk di meja makan. Tyas benar-benar tidak berkutik sepanjang makan malam. Jika Hasan atau Hani tidak mengajaknya bicara, gadis itu lebih banyak menghabiskan waktunya untuk diam dan berkonsentrasi dengan makanannya.
Setelah makan malam, Andi membawa keluarga Hasan duduk bersantai di ruang tamu sambil menikmati puding buatan Jena. Baru saja Tyas berpikir ini adalah saat yang tepat untuk kabur ke kamarnya, kata-kata yang keluar dari bibir Leo kemudian langsung menggagalkannya.
"Tyas, bisa tolong temani saya isi bensin?"
Tyas langsung terdiam dengan semua orang yang memandang ke arahnya.
"Memangnya bensin habis, Nak?" tanya Hasan.
"Iya, Yah. Tinggal sedikit. Takut gak cukup buat kita pulang nanti, mending isi sekarang cari pom bensin dekat sini."
"Oh iya, iya, bener itu," sahut Andi. "Tyas, tolong temani Leo ya," ujar papanya kemudian pada Tyas.
Tyas hanya bisa mengangguk pasrah. Gak mungkin juga dia menolak perintah papanya, apalagi di depan banyak orang begini. Dengan isyarat mata ia pun mempersilahkan Leo untuk keluar lebih dulu sementara ia mengekornya di belakang.
"Kamu gak marah kan? Bensin saya betul-betul mau habis loh. Ini lihat aja sendiri," ujar Leo saat mereka berdua sudah berada di dalam mobil.
Tyas melirik sekilas kemudian kembali mengalihkan pandangannya ke depan. Iya sih, Leo memang gak bohong. Cuma kenapa juga isi bensin aja harus ngajak Tyas? Kan bisa sendiri. Toh lelaki itu dulu juga sudah sering datang dan pergi di kawasan ini. Pasti Leo tahu di mana letak pom bensin terdekat dari tempat tinggal Tyas.
Usai mengisi bensin di pom bensin terdekat, Leo kembali melajukan mobilnya. Awalnya Tyas tetap duduk tenang, tapi ia kemudian menyadari sesuatu. Di tempat yang seharusnya putar balik, Leo malah tetap melaju lurus. Tyas pun refleks langsung mendelik ke arah Leo.
Melihat lirikan tajam Tyas, Leo langsung tersenyum. "Cuma pengin jalan-jalan sebentar aja kok. Muka kamu jangan kayak orang diculik gitu," ujar Leo seolah tahu apa yang dipikirkan Tyas.
Tyas mencibir kemudian membuang muka. Leo ini! Kenapa sih seneng banget bikin jantungnya berdebar kencang dan perutnya jadi melilit?
"Kenapa chat saya gak kamu balas?" tanya Leo kemudian membuat Tyas seketika menegang.
Tyas meneguk salivanya dalam diam. Bingung, gelisah, merasa bersalah, tapi juga lega karena bisa bertemu lagi semuanya bercampur jadi satu. "Maaf," ujarnya.
"Maaf untuk?" tanya Leo.
"Ya... semuanya."
Leo tersenyum. "Semuanya tuh yang mana aja?" tanyanya menggoda.
Tyas mendelik menatap Leo. "Yang mana kek pokoknya saya minta maaf, udah titik," ujarnya ketus.
"Gak usah minta maaf kalau gak niat," ujar Leo mengulang kata-kata yang dulu pernah Tyas ucapkan padanya.
"Kamu menyebalkan ya?" ujar Tyas sinis.
Leo tertawa mendengarnya, "Tapi bikin kangen kan?" godanya.
Tyas mencibir dan kembali mengalihkan tatapannya ke jalanan di depannya.
"Saya juga minta maaf. Harusnya dari awal saya terbuka sama kamu tentang semuanya karena saya sendiri yang sudah memutuskan untuk serius sama kamu," ujar Leo.
Tyas berdeham sejenak seraya menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga. "Udah lah, gak usah dibahas," ujarnya. Kesalahan ada untuk dijadikan pelajaran. Kalau kita gak pernah salah, kita gak akan tahu mana yang benar. Bagi Tyas, dengan mereka sudah saling mengetahui kesalahan masing-masing saja itu sudah cukup. Ia tak ingin memperpanjangnya lagi.
"Kalau gitu, apa saya masih punya kesempatan?" tanya Leo
Kali ini Tyas benar-benar mematung. Bingung harus menjawab atau merespon seperti apa.
"Kita perbaiki berdua, Yas. Sendiri mungkin terasa nyaman tapi bersama-sama pasti akan lebih menyenangkan."
Tyas tetap diam. Sekian detik berlalu namun belum ada jawaban juga yang keluar dari bibir Tyas.
"Karena kamu diam aja berarti saya anggap setuju," ujar Leo mengambil keputusan sepihak. Lelaki itu mengembangkan senyumnya saat Tyas meliriknya.
"Kebiasaan!" gerutu Tyas pelan karena Leo selalu saja mengambil keputusan sendiri. Meski begitu tak ayal bibirnya juga ikut melengkungkan senyum tipis. Biarkan saja seperti ini. Jika memang saling cinta, maka tak perlu banyak beragumentasi. Cukuplah saling memberi bukti lewat aksi.
TAMAT
-15 Mei 2019-
KAMU SEDANG MEMBACA
To Make You Up [DaMay Friend's Story]
Romance[Complete] Tyas Anjani, seorang mahasiswi semester tujuh yang berprofesi sampingan sebagai make up artist dalam bisnis kecantikan kecil-kecilan yang dikelolanya bersama dua orang temannya. Bagi Tyas, hal yang paling membuatnya sebal adalah ketika me...