"Capcainya enak, Tante."
Baik Jena maupun Andi sama-sama terperangah mendengar apa yang baru saja Tyas katakan. Benarkah kalimat itu berasal dari mulut Tyas? Tyas yang selama ini diam saja ketika makan bersama di meja makan seolah ia hanya seorang diri? Jangankan untuk memuji masakan Jena, menganggap Jena berada di satu meja yang sama saja biasanya tak pernah Tyas lakukan.
"Serius, Yas? Mau tambah?" tanya Jena antusias.
Tyas tidak mengangguk ataupun menggeleng, namun ia mengangkat piringnya meminta Jena untuk mengisinya.
Dengan sigap Jena langsung mengisi kembali piring Tyas dengan satu sendok sayur capcai buatannya. Saat Tyas kembali makan, Jena menatapnya dengan senyum yang mengembang di bibirnya. Meski hanya hal kecil seperti ini, Jena merasa sangat bahagia. Jena yakin Tuhan mendengar doa-doanya. Tak peduli berapa lama pun Tuhan akan mengabulkan permintaannya agar Tyas bisa menerima kehadirannya, Jena akan tetap menunggu. Jena harap kali ini penantiannya akan berbuah manis.
Andi ikut tersenyum melihat anaknya yang makan dengan lahap tak seperti biasanya. Semoga ini tidak sementara, batinnya berharap. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk hubungan mereka sebagai satu keluarga.
Tyas tahu apa yang dilakukannya tadi seolah seperti bukan dirinya selama ini. Meski begitu, Tyas hanya ingin mencoba untuk melakukannya walau ia tahu sikapnya barusan akan menimbulkan banyak pertanyaan di dalam kepala papanya ataupun Jena.
Hati Tyas memang belum bisa sepenuhnya menerima Jena sebagai ibunya, tetapi menurut Tyas apa yang dikatakan Leo tidak ada salahnya juga. Jika Jena saja masih bisa menjalankan peran layaknya seorang ibu, kenapa Tyas tidak bisa melakukan tugasnya sebagai seorang anak?
Tyas tidak pernah merasa selega ini sebelumnya. Bahkan air mata yang selama ini ia habiskan sendiri di waktu-waktu malam sampai terasa mengantuk tak pernah memberinya perasaan selega ini. Kali ini, seolah ada beban yang diangkat dari punggungnya. Ada jerat yang terlepas hingga membuatnya bisa bernapas lagi.
Tyas membuka jendela kamarnya, merasakan sejenak embusan angin yang menyapa kulitnya sebelum kemudian dering ponselnya mengganggu ketenangan yang baru saja ia rasakan.
Dengan malas Tyas mengambil ponselnya yang tergeletak di atas kasur. Ia sedikit menyipitkan matanya sesaat sebelum kemudian menjawab panggilan yang masuk ke ponselnya. Mau apa lagi coba ini orang? batinnya.
"Halo," sapa Tyas.
"Ya, dengan Leo ganteng di sini, password-nya apa, Mbak?"
Tyas berdecak pelan mendengarnya. "Kamu cari mati ya?!" tanyanya ketus.
"Bukan, saya cari cinta sejati."
"Ewh!" Bahu Tyas langsung bergidik mendengarnya. Sementara itu Leo diujung sana juga tengah mentertawakan sendiri leluconnya.
"Kalau kamu telepon saya cuma buat ngomong ngawur doang mending matiin aja, saya ngantuk mau tidur," ujar Tyas.
"Jutek banget sih sama pacar," cibir Leo membuat pipi Tyas tiba-tiba memerah. Bagus saat ini mereka tidak sedang tatap muka. Kalau iya, mau Tyas sembunyikan di mana pipi tomatnya itu.
"Apa? Pacar? Memang kapan saya terima kamu?" tanya Tyas dengan nada seketus mungkin, berusaha menyamarkan rasa gugupnya.
"Tapi kan kamu juga gak nolak saya, Yas," sahut Leo.
"Tapi kan─"
"Udah lah, Tyas," Leo memotong kalimat Tyas. "Saya telepon kamu bukannya mau berantem kok," lanjutnya kemudian.
"Terus mau ngapain?"
Tyas menunggu dalam hening diantara mereka. Menunggu kapan lelaki di ujung telepon sana menjawab pertanyaannya. Sementara itu, tanpa Tyas dapat melihatnya, Leo menyunggingkan senyumnya.
"Selamat tidur, istirahat yang cukup. Besok siang saya jemput dan jangan coba-coba kabur lagi," ujar Leo kemudian menutup sambungan telepon. Menyisakan kerut kebingungan di dahi Tyas.
"Apaan sih ini orang gak jelas banget! Mau ngapain coba besok dia ke sini?" gerutu Tyas sambil mengetik pesan untuk Leo.
Tyas: Kamu mau bawa saya ke mana lagi besok?
Leo: Ke pelaminan mau?
Tyas: Dasar sinting!
Tyas melemparkan ponselnya ke atas kasur. Ngomong sama Leo itu memang gak pernah bisa tenang. Selalu saja bikin emosi. Tapi, besok Leo mau bawa Tyas pergi kemana ya? Pertanyaan itu kini menari-nari di kepala Tyas dan baru berhenti ketika gadis itu akhirnya mulai mengantuk.
***
Leo tersenyum membaca pesan terakhir yang masuk dari Tyas. Sinting? Mungkin Tyas benar. Leo setengah kehilangan akal sehatnya kini. Ia sendiri juga lupa kapan terakhir kali dirinya bisa senorak ini ketika melakukan pendekatan dengan wanita. Waktu terakhir pacaran kah? Ah, rasanya tidak.
Leo merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia tidak sampai segila ini waktu pertama kali mencoba mendekati Citra. Bicara soal Citra membuat Leo kembali mengingat kisah yang pernah mereka tulis berdua.
Semesta memang kadang selucu itu. Mempertemukan dua insan, menghipnotis mereka dengan rasa nyaman, membuatnya terjebak dalam satu ikatan, lalu kemudian dipisahkan dengan alasan yang tak terbantahkan─kehendak Tuhan.
Pasca perpisahan itu, Leo memang sempat terpuruk namun bukan berarti ia berpikir bahwa kebersamaannya dengan Citra adalah hal yang buruk. Leo tidak menyesali semua yang pernah terjadi di antara dirinya dan Citra. Kini, ia yakin setiap pertemuan dan perpisahan pasti memiliki sebuah makna.
Sekarang, bukan Citra lagi yang mengisi hari-harinya. Ada wanita lain yang membuat Leo ingin melindunginya, menjaganya, dan menyembuhkan lukanya. Seperti halnya Tyas yang membuat Leo bisa merasakan jatuh cinta lagi, Leo juga ingin membuat Tyas bisa mengekspresikan perasaannya dan berdamai dengan segala hal yang membuatnya jadi begitu skeptis terhadap orang lain.
Mereka berdua pernah sama-sama terluka, dan kini semesta mempertemukan mereka untuk bangkit bersama.
***
To be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
To Make You Up [DaMay Friend's Story]
Romance[Complete] Tyas Anjani, seorang mahasiswi semester tujuh yang berprofesi sampingan sebagai make up artist dalam bisnis kecantikan kecil-kecilan yang dikelolanya bersama dua orang temannya. Bagi Tyas, hal yang paling membuatnya sebal adalah ketika me...