25. Keluarga

14.3K 2K 23
                                    

Tyas meneguk salivanya, menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskannya perlahan sambil menyisipkan helaian rambutnya ke belakang telinga. Ini bukan kali pertama Tyas datang ke rumah keluarga Leo tapi rasanya jauh lebih mendebarkan dibanding saat ia pertama kali datang kesini sebagai perias untuk Lia.

"Santai aja, Yas. Ayah saya orangnya humoris kok," ujar Leo berusaha menenangkan Tyas.

Tyas hanya mengangguk seadanya. Meski begitu, jantungnya tetap saja tak bisa tenang. Ditambah kata-kata Leo di mobil sebelumnya, membuat perasaan dan pikiran Tyas jadi semakin tak karuan.

Leo yang bisa menangkap raut cemas di wajah Tyas pun berinisiatif menyisipkan jari-jemarinya di sela-sela jemari tangan Tyas. Tyas sedikit terperanjat dan mendongak menatap Leo dengan tatapan bertanya namun pria itu hanya tersenyum dan mengangguk lalu mengajak Tyas melangkah masuk ke dalam rumah.

***

Rasa gugup yang sejak tadi membebani Tyas, perlahan luntur saat dirinya telah bertemu langsung dengan sosok Hasan—ayah Leo. Ternyata benar apa yang dikatakan Leo, ayahnya adalah orang yang humoris. Alih-alih menegangkan, makan malam mereka justru terasa menyenangkan karena candaan dari beliau.

"Tapi Nak Tyas ini wajahnya terasa familier deh. Mirip siapa ya? Sebentar, Om ingat-ingat dulu," ujar Hasan tiba-tiba. Bapak tiga anak itu terlihat serius berpikir.

"Siapa? Mantan Ayah yang katanya anak Pak Lurah?"

Hasan langsung menoleh ke arah istrinya dan menjawil dagunya. "Uh, cemburu nih ya," godanya. "Ayah mah gak pernah ingat-ingat mantan lagi, Bu," lanjutnya kemudian.

"Karena terlalu cinta sama Ibu ya, Yah?" tanya Livia.

"Karena... kebanyakan," jawab Hasan sambil tertawa yang kemudian langsung memeluk istrinya.

Tyas yang menyaksikan itu ikut tersenyum. Canda tawa pasangan halal memang terasa berbeda ya. Seolah ditaburi gula. Berasa manis gimana gitu walaupun sebenarnya sederhana.

"Oh, iya, Om ingat! Mirip teman sekolah Om dulu waktu masih tinggal di Bojong. Andi namanya."

Tyas tertegun. Andi yang dimaksud itu apakah... "Andi Riansyah?" tanya Tyas menyebutkan nama papanya.

Hasan terkejut mendengar Tyas menyebutkan nama lengkap temannya. "Iya! Eh, loh kok kamu tahu?"

Tyas kemudian mengeluarkan ponselnya dan membuka fitur galeri di ponselnya. Mencari foto masa kecilnya yang ia potret dari album miliknya.

"Andi yang Om maksud tuh ini bukan ya?" tanya Tyas seraya menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan foto papanya yang tengah menggendongnya ketika masih bayi pada Hasan.

Melihat foto di ponsel Tyas, Hasan jadi tambah terkejut. "Iya, betul ini;" jawabnya.

Hasan kembali menatap Tyas. "Jadi, kamu anaknya Andi? Masyaallah dunia betul-betul sempit sekali," ucapnya takjub. Tak disangka oleh dirinya akan bertemu dengan putri dari kawannya yang sudah lama putus kontak.

"Ayah kenal sama papanya Tyas?" Kali ini Leo yang bertanya. Mewakili rasa penasaran dari semua orang.

Hasan mengangguk. "Dulu, Ayah dan Andi itu kawan dekat. Kami satu sekolah sampai lulus SMP lalu Andi pindah ke Jakarta ikut orangtuanya. Dari situ kami putus kontak sebab komunikasi waktu itu kan belum secanggih sekarang ditambah lagi kami juga sama-sama belum memiliki ponsel saat itu.

"Setelah menikah dengan Ibu kalian dan pindah ke Jakarta. Ayah berpikir untuk menemui Andi yang sudah lebih dulu tinggal di Jakarta. Tapi Ayah bingung harus mencarinya ke mana. Tak tahu alamat tinggalnya, tak ada nomor telepon yang bisa dihubungi pula. Jadi ya sudah, Ayah urungkan. Tak disangka sekarang Ayah malah bertemu dengan putrinya." Hasan mengakhiri cerita panjangnya. "Bagaimana kabar papamu, nak? Sehat kan?" tanyanya kemudian pada Tyas.

"Alhamdulillah Papa sehat, Om. Om mau nomor ponsel Papa? Pasti Papa juga senang bisa bertemu kawan lamanya."

Hasan mengangguk lalu meminta istrinya untuk mengambilkan ponselnya di kamar. "Ah, ya, Lia, tolong undang papanya Tyas juga ya ke pernikahan kamu," ujarnya kemudian pada Lia.

Lia mengangguk. "Kalau gitu Lia ambil dulu di kamar biar sekalian Tyas bawa nanti," ujarnya seraya beranjak ke kamarnya.

"Tyas, Om juga ada titipan untuk Papa kamu. Sebentar ya..."

***

Setelah kembali ke rumah, Tyas menyampaikan undangan dari Lia juga sebuah amplop titipan dari Hasan.

Andi membuka amplop itu yang ternyata berisi secarik kertas juga selembar uang dua puluh ribu rupiah.

Andi, kamu masih ingat saya? Semoga masih. Sebab saya masih punya hutang sama kamu yang perlu saya lunasi. Setelah puluhan tahun berlalu alhamdulillah akhirnya saya bisa membayar hutang saya pada kamu. Sekarang, kalau pun mati saya bisa tenang. Terima kasih telah banyak membantu saya dulu. Buat saya kamu bukan cuma teman, tapi keluarga. Semoga kelak tali silahturahmi ini bisa terus terjalin.

Andi tersenyum membaca tulisan Hasan. Dipandanginya uang dua puluh ribu dari Hasan. "Hasan, Hasan, masih ingat aja dia," gumamnya.

"Itu uang apa, Pa?" tanya Tyas.

"Ini... dulu Papa kasih pinjam Hasan uang. Padahal Papa sudah bilang gak usah diganti, tapi dia gak mau. Dia bilang hutang itu dibawa mati jadi dia janji sama Papa akan bayar hutangnya sebelum mati. Gak sangka dia masih ingat sama kata-katanya itu," tutur Andi.

Tyas hanya membulatkan mulutnya sambil mengangguk-angguk. Hubungan papa dan Ayah Leo dulu pasti sangat akrab, begitu pikirnya.

"Minggu depan ya ini acaranya? Kita datang sama-sama ya nanti," ujar Andi kemudian seraya menatap Jena dan Tyas.

Jena mengangguk, sementara Tyas tampak meremas pelan jemarinya. "Ehm, Pa, Tyas kan diminta jadi pengiring pengantinnya Lia, terus katanya di-make up di lokasi acara dan jam lima pagi sudah harus stand by di sana karena acara akadnya jam delapan pagi. Om Hasan sama Tante Hani nawarin aku buat menginap di rumah mereka biar sekalian jalan bareng dari sana. Boleh, Pa?" Tyas bertanya dengan takut-takut. Kalau menginap di tempat Melisa sih sudah biasa, tapi kali ini apa papanya juga akan mengizinkan? Biasanya Tyas paling susah mendapat izin untuk menginap-nginap di luar. Tiap kali angkatan kampusnya mengadakan acara jalan-jalan dan menginap di vila saja Tyas tidak pernah diperbolehkan ikut.

Andi mengangguk. "Ya sudah, boleh."

Tyas sedikit terkejut karena langsung mendapatkan izin dari papanya. Boleh? Semudah itu? Gak ada interview panjang seperti yang biasa papanya lakukan?

"Sudah malam, Papa masuk ke kamar duluan ya," pamit Andi.

Tyas dan Jena saling tatap setelah kepergian Andi. "Tyas gak salah dengar kan ya, Tante?"

Jena menggeleng seraya mengusap bahu Tyas. "Nggak kok. Ya sudah, kamu juga istirahat ya," ujarnya.

Tyas mengangguk kemudian berjalan ke kamarnya sementara Jena menyusul suaminya yang sudah lebih dulu masuk ke kamar.

"Mas," panggil Jena saat masuk kamar. Dilihat suaminya sudah bersiap untuk tidur.

"Ya, kenapa?"

"Tyas benar boleh menginap di sana?" tanya Jena memastikan dan Andi mengangguk yakin.

"Tumben," gumam Jena.

Andi hanya tersenyum, tidak menanggapi lebih jauh. Iya ini memang bukan sikapnya yang biasanya. Tapi, toh Tyas bukan menginap di tempat orang yang tidak dikenalnya. Bagi Andi, Hasan juga sudah ia anggap seperti keluarganya. Jadi, apa salahnya kalau Tyas menghabiskan waktu di tempat keluarganya yang lain?

***

To be continue

To Make You Up [DaMay Friend's Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang