31. Kabur

14.3K 1.9K 13
                                    

Jena perhatikan sudah beberapa hari ini Tyas seolah kehilangan nafsu makan. Gadis itu hanya mengaduk nasi dengan lauk di piringnya. Menyuapnya dua sampai empat kali lalu tiba-tiba saja bilang sudah kenyang dan kembali masuk ke dalam kamarnya.

Pasti telah terjadi sesuatu, gumam Jena dalam hati.

"Jena." Teguran dari Andi membuyarkan lamunan Jena. Ia pun menoleh menatap suaminya.

"Ya, Mas?"

"Aku harus ke Bandung untuk uji coba penerapan applikasi baru di kantor cabang sana. Titip Tyas ya."

Jena mengangguk. "Berangkat kapan dan sampai berapa lama?" tanyanya.

"Berangkat hari Minggu sore. Berapa lamanya belum tahu. Kemungkinan satu minggu."

"Loh?" Jena terkejut saat mendengar waktu keberangkatan suaminya. "Gak jadi ke Karawang?" tanyanya kemudian. Seingatnya Minggu ini Andi sudah ada rencana untuk pergi bersama Tyas.

Andi menggeleng pelan. "Terpaksa harus diundur," ujarnya.

Kasihan Tyas. Dia pasti akan kecewa, gumam Jena dalam hati. "Mas sudah bilang sama Tyas?"

Andi menggeleng. "Nanti habis makan aku bilang sama dia," jawabnya.

Setelah menghabiskan makan malamnya, Andi pun lantas menuju kamar anak gadisnya dan mengetuk pintunya. "Tyas, sudah tidur belum? Boleh Papa masuk?" tanyanya.

"Masuk aja, Pa," sahut Tyas dari dalam.

Ketika masuk ke dalam kamar putrinya, dilihatnya Tyas tengah mengetik di laptopnya. "Kamu lagi ngerjain tugas?" tanya Andi dan Tyas mengangguk.

"Tapi udah selesai," ujarnya seraya menyimpan dokumen word berisi tugas kuliahnya. "Ada apa, Pa?" tanyanya kemudian lalu membalikkan posisi duduknya menghadap Andi.

"Ehm... gini..." Andi melangkah mendekat ke arah Tyas. "Papa harus ke Bandung selama beberapa hari. Kemungkinan selama satu minggu."

Raut wajah Tyas langsung berubah saat mendengarnya. "Kapan Papa berangkat?" tanyanya.

"Minggu sore."

Tyas mengalihkan pandangannya. Enggan menatap papanya. "Bukannya Papa sendiri yang bilang kalau hari Minggu kita akan ziarah ke makam Mama terus juga berkunjung ke tempat Nenek?" tanyanya sinis.

Andi hendak mengelus kepala putrinya namun Tyas bergerak menjauhkan kepalanya. Hal itu membuat Andi sadar kalau putrinya saat ini pasti sangat marah padanya.

"Maafin Papa, Yas. Tapi Papa janji setelah selesai dari Bandung Papa akan ambil cuti jadi kita bisa ziarah ke makam Mama juga menginap di tempat Nenek. Kita pergi di lain waktu gak apa-apa kan?"

Tyas tersenyum pahit. "Ini bukan soal waktunya tapi momennya," gumam Tyas pelan. "Papa pergi aja gak apa-apa. Hati-hati di jalan," ujarnya kemudian.

Andi lega mendegarnya. "Makasih ya. Pokoknya nanti Papa akan ambil cuti—"

"Gak perlu," potong Tyas. "Tyas bisa pergi sendiri kok minggu ini. Papa gak perlu repot-repot ambil cuti."

"Tyas..." Andi terperangah menatap putrinya.

"Tyas ngantuk, Pa, mau tidur. Besok pagi ada kelas pengganti. Papa juga udah gak ada yang dibicarain lagi kan?"

Andi mengerti putrinya itu secara tidak langsung ingin mengakhiri percakapan mereka. Ia pun akhirnya memilih mengalah dengan keluar dari kamar putrinya.

"Sampai kapan kita harus salah paham begini, Yas?" lirih Andi menatap pintu kamar putrinya yang sudah tertutup kembali.

***

To Make You Up [DaMay Friend's Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang