Begitu tiba di rumah Citra, ia menawarkan Leo dan Tyas untuk mampir namun Leo menolak dengan alasan takut keburu macet di jalan. Ia dan Tyas pun pamit untuk langsung kembali melanjutkan perjalanan mereka
Setelah berterima kasih dan memastikan mobil Leo sudah hilang dari pandangan, Citra pun masuk ke dalam rumah.
Diletakannya belanjaannya di dekat kakinya sementara ia menyandarkan tubuhnya di sofa seraya memejamkan kedua matanya. Tangannya bergerak memijat kepalanya. Perlahan, Citra menyunggingkan senyumnya.
"Mungkin memang ini yang terbaik," gumamnya.
Selama ini, Citra selalu merasa ada setengah hatinya yang ikut terbawa dengan Leo. Ia terus merasa bersalah karena tak mampu mencintai suaminya secara utuh. Citra sering merasa dilema akan jalan hidup yang diambilnya. Benarkah keputusannya untuk menikah kala itu sudah tepat? Jika iya, kenapa Leo hadir kembali dalam hidupnya?
"Baru pulang sayang?"
Citra membuka matanya saat mendengar suara lelaki yang sudah sangat dikenalinya. "Loh, kok kamu gak istirahat? Gimana? Masih pusing gak?" tanyanya.
Lelaki itu tersenyum dan berjalan mendekati Citra lalu duduk di pegangan sofa. Dibungkukkannya sedikit punggungnya agar wajahnya dapat mensejajari wajah Citra. "Sudah mendingan kok. Tadi aku sudah tidur sebentar" jawabnya. "Maaf ya gara-gara aku sakit kepala jadi gak bisa jemput kamu," sesalnya
Citra mengangguk mengerti. "Gak apa-apa. Aku yang minta maaf. Kalau dari awal kamu bilang kamu lagi gak enak badan kan aku juga bisa cancel perginya tadi."
"Ya jangan lah, Sayang. Kamu sudah janjian sama teman-teman SMA kamu dari jauh-jauh hari kok, masa iya mau kamu batalin tiba-tiba?"
"Ya tapi kan gara-gara kamu bela-belain mengantar aku tadi, pas pulangnya sakitmu malah jadi tambah parah," lirih Citra. "Kamu udah betul-betul mendingan? Aku tadi sekalian mampir ke apotek beli obat. Makan dulu yuk terus minum obat."
"Hmm... nggak mau ah."
"Rengga..." gumam Citra dengan sorot mata khawatir menatap suaminya.
Pria itu tersenyum. Satu tangannya kemudian terulur untuk mengusap kepala Citra. "Aku benar-benar udah gak apa-apa kok. Habis tidur terus lihat muka kamu yang tambah cantik kalau lagi khawatir gini sakit kepalaku rasanya langsung hilang," ujarnya membuat Citra yang mendengarnya jadi tertawa kecil.
"Dasar gombal! Malu sama anak kali, Pak," ledek Citra.
"Kenapa malu? Justru biar anak kita tahu kalau papanya ini sangat mencintai mamanya," ujarnya yang kemudian membungkukkan lagi tubuhnya untuk mengecup perut Citra.
Semula Citra memang ragu apakah keputusannya untuk menikah dengan Rengga adalah pilihan yang tepat atau tidak, tapi kini Citra tahu bahwa ia tidak salah memilih. Cinta yang Rengga pupuk untuknya setiap hari, membuat perasaan Citra untuk Rengga pun mulai tumbuh. Terlebih ketika Tuhan menghadirkan malaikat kecil yang sedang tumbuh dan berkembang di dalam rahimnya.
Ditambah lagi sekarang setelah ia melihat Leo bersama perempuan lain, Citra semakin yakin bahwa ini memang jalan yang harus ditempuhnya. Masing-masing dari dirinya dan Leo sudah menemukan kebahagian sendiri. Sekalipun Citra bisa saja menemukan jalur untuk putar balik, tapi ia tidak akan melakukannya. Citra sudah bertekad untuk terus melaju di jalannya sendiri bersama dengan keluarga kecilnya.
Apa yang pernah terjadi di antara dirinya dan Leo dulu hanyalah sebuah masa lalu. Dan memori masa lalu sebaiknya memang hanya untuk dikenang, bukan malah jadi penghalang untuk maju ke depan.
***
"Yas, nanti kita mampir ke—"
"Pulang," potong Tyas sebelum Leo menyelesaikan kalimatnya.
Leo menatap Tyas sekilas sebelum kembali mengalihkan pandangannya ke jalanan di depannya. "Kenapa tiba-tiba minta pulang?" tanyanya.
Tyas mengerutkan keningnya menatap Leo dengan pandangan heran. "Tiba-tiba? Dari di kampus tadi juga kan saya memang mau pulang. Kamunya aja yang bawa saya mampir ke tempat makan lah, bengkel lah, mall lah, rumah teman kamu lah. Salah gitu kalau sekarang saya minta pulang?"
"Bukan masalah benar atau salah, Yas. Tanpa kamu bilang gitu juga kan saya pasti bakal antar kamu pulang nanti, tapi—" kalimat Leo tiba-tiba terhenti. Tindakannya itu membuat Tyas jadi penasaran.
"Tapi apa?" tanya Tyas.
Leo masih terdiam. Diliriknya Tyas sekilas sambil memperlambat laju mobilnya karena lampu lalu lintas di jalur yang sedang dilewatinya telah berganti warna merah.
Ditariknya rem tangan mobilnya, baru setelahnya pandangannya menatap lurus ke mata Tyas. "Tapi saya masih mau berama-lama sama kamu."
Deg!
Tyas tertegun mendengarnya. Tak menyangka kalau Leo akan mengatakan hal seperti itu. Dialihkannya pandangannya menunduk menatap tas di pangkuannya, tak berani bersitatap dengan Leo.
"Saya tahu kamu kaget, tapi saya juga kaget, Yas. Saya gak nyangka kamu sudah menjadi kebiasaan untuk saya. Rasanya ada perasaan hampa dan kosong saat kamu menjauhi saya. Saya ingin waktu berlalu dengan cepat supaya saya bisa menemui kamu dan meluruskan permasalahan kita. Lalu sekarang saat bersama kamu rasanya saya ingin terus mengulur-ulur waktu supaya bisa terus bersama kamu. Salah ya, Yas, kalau saya seperti ini?"
Tyas masih tetap dengan diamnya. Dia terlalu bingung dengan semua ini. Jika pengakuan Leo itu adalah hal yang salah, maka berarti degup jantungnya yang tak beraturan ini juga sama salahnya.
"Saya tahu, Yas, kamu ragu sama saya. Tapi izinkan saya untuk berusaha. Biarkan kita setidaknya mencoba saling mengenal satu sama lain."
Meski awalnya takut, akhirnya Tyas berani mendongak dan menatap Leo. "Saya gak tahu harus jawab apa," ujarnya pelan.
Leo tersenyum seraya mengulurkan tangannya menepuk lembut puncak kepala Tyas. "Ini permintaan, Yas, bukan pertanyaan. Kamu gak harus jawab kok. Cukup kamu kabulkan kalau kamu bersedia."
Perlahan Tyas kembali menunduk. Leo mengerti gadis di hadapannya ini butuh waktu untuk bisa menerimanya. Mungkin perlu waktu lama, tapi Leo sudah memutuskan kalau ia bersedia untuk menunggu. Diacaknya rambut Tyas hingga gadis itu memberengut sebal menatapnya.
"Kita pulang, tapi nanti mampir sebentar beli makanan buat Papa sama Mama kamu," ujar Leo.
"Ada angin apa kamu mau bawain Papa sama Tante Jena makanan?"
"Ya bawain makanan aja dulu, mana tau nanti bisa bawain seserahan, ya kan?" ujarnya sambil menaik-turunkan alisnya menggoda Tyas.
Mendengar itu, Tyas langsung mengalihkan pandangannya ke kaca mobil di sampingnya. Biasa aja kek ya ampun! batinnya menggerutu pada detak jantungnya sendiri.
***
To be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
To Make You Up [DaMay Friend's Story]
Romance[Complete] Tyas Anjani, seorang mahasiswi semester tujuh yang berprofesi sampingan sebagai make up artist dalam bisnis kecantikan kecil-kecilan yang dikelolanya bersama dua orang temannya. Bagi Tyas, hal yang paling membuatnya sebal adalah ketika me...