"Syukurlah kamu sudah pulang, Tante khawatir, Yas."
Tyas mendongak dan mendapati Jena di hadapannya. Oh, dia sudah sampai di depan rumahnya ternyata. Ia pasti tidak sadar sudah berjalan lumayan jauh dari pertigaan jalan raya karena mobil taksi yang ditumpanginya mendadak mogok. Tapi, tunggu... rasanya Tyas belum memencet bel tapi kenapa Jena sudah berdiri di depannya?
"Tante tungguin Tyas pulang?" tanya Tyas langsung.
"Iya, Tante khawatir. Kamu dari mana aja? Kenapa gak bisa dihubungi? Sudah makan?"
Tyas hanya diam menatap Jena. Melihat Tyas tak memberinya jawaban, Jena buru-buru minta maaf karena takut Tyas merasa tidak nyaman. "Maaf, Yas, bukannya Tante bawel, tapi—"
"Tyas yang minta maaf, Tante," potong Tyas membuat Jena terperangah. "Maaf ya Tyas lupa bilang tadi Tyas pergi dulu sama Melisa. Baterai ponsel Tyas juga low jadi gak bisa ditelepon," lanjut Tyas lagi.
Meski masih terkejut, Jena merespon ucapan Tyas dengan anggukan. "I-iya, gak apa-apa," ujarnya.
"Ya sudah, Tante, kalau gitu Tyas langsung ke kamar ya," pamit gadis itu pada Jena.
"Oh, iya, iya."
Tyas membaringkan tubuhnya di atas ranjangnya dengan mata terpejam. Meski begitu, ia tak bisa menghalangi satu tetes air mata yang mengalir membasahi pelipisnya. Teringat tentang semua perilakunya selama ini terhadap Jena dan papanya. Tyas merasa sangat-sangat bersalah pada mereka.
Tyas membuka matanya dan menghapus air matanya. Sesaat ia terdiam. Matanya menatap lurus pada kedua tangannya. Tangan yang baru saja melepaskan seseorang yang sebenarnya mulai ia cintai.
"Gak boleh tahu minta turun tengah jalan sama pacar, katanya nanti hubungannya kandas di tengah jalan juga."
Tiba-tiba saja di telinga Tyas terngiang kata-kata yang pernah diucapkan Leo tempo lalu. Tyas tersenyum pahit. Ia kira saat itu Leo hanya bercanda, rupanya benar adanya.
Air mata Tyas kembali meleleh. Dikepalnya kedua tangannya. Dalam hati ia terus meyakinkan dirinya bahwa keputusannya untuk melepas Leo saat ini adalah keputusan terbaik. Ia masih perlu menata hatinya sendiri sebelum membukanya untuk orang lain. Ia masih perlu belajar percaya pada dirinya sendiri sebelum menjalin komitmen dengan orang lain.
***
"Pa, Tyas mau bicara berdua, bisa?"
Setelah memantapkan hatinya selagi menunggu papanya pulang dari luar kota, akhirnya Tyas memberanikan diri untuk bicara berdua dengan papanya.
Meski bingung karena Tyas tiba-tiba ingin bicara berdua dengannya, Andi tetap mengangguk setuju. Dibawanya Tyas ke ruang kerjanya selagi Jena pamit ke dapur untuk mencuci piring.
"Kamu mau ngomong apa sama Papa, Yas?" tanya Andi membuka pembicaraan.
Tyas meneguk salivanya sesaat. Ia harus tahu semuanya. Ia perlu mengetahui yang sebenarnya langsung dari mulut papanya. "Pa, apa benar Papa nikah sama Tante Jena karena Mama yang memintanya?"
Andi terperanjat mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh putri bungsunya itu. Ia mengalihkan pandangannya, menghindari tatapan Tyas.
"Pa, Tyas mohon Papa jujur sama Tyas, Pa. Tyas berhak untuk tahu yang sebenarnya, Pa."
Andi menghela napas panjang. Tyas benar. Dia berhak untuk tahu. Bagaimanapun juga Andi tak bisa menyimpan hal ini selamanya. Ditatapnya kembali putrinya. Kedua tangannya terulur untuk mengusap lembut bahu Tyas. "Iya, Yas, itu benar," jawabnya pada akhirnya.
Air mata Tyas menetes. Berarti selama ini Tyas sudah salah paham dengan papanya. Ia memusuhi papanya karena termakan oleh asumsinya sendiri tanpa tahu yang yang sebenarnya terjadi. "Kenapa Papa gak pernah bilang sama Tyas, Pa?" tanyanya lirih.
Andi merangkul Tyas dalam dekapannya. Diusapnya puncak kepala anak gadisnya itu. "Maafin Papa ya, Yas. Papa hanya terlalu bingung bagaimana menjelaskannya padamu sampai pada akhirnya Papa memutuskannya untuk tidak memberitahumu."
"Tyas juga minta maaf, Pa..."
Andi mengangguk. Dikecupnya kening Tyas dengan penuh sayang.
"Tapi, Pa," Tyas mengulur pelukannya dan menghapus air matanya. "Tyas masih punya pertanyaan. Tyas mau Papa jawab sejujurnya dan Tyas janji gak akan marah."
Andi terdiam sebelum akhirnya mengangguk setuju. "Apa itu, Sayang?"
"Kenapa Mama meminta Papa menikah dengan Tante Jena dan dari mana Mama tahu tentang Tante Jena?"
Andi menghela napas sejenak sebelum dibawanya Tyas duduk di sofa. Diungkapkannya pada Tyas apa yang terjadi di masa lalu. Tentang bagaimana istrinya mengetahui soal Jena dan kenapa istrinya memintanya menikah dengan Jena.
"Papa dan Jena memang pernah menjalin hubungan sewaktu kuliah sampai lulus, tapi kemudian hubungan itu harus berakhir karena orang tua Jena punya lelaki pilihan lain dan itu bukan Papa. Jena menerimanya, dan Papa pun mengikhlaskannya. Kami putus secara baik-baik. Bahkan Papa masih datang ke pernikahannya. Kami putus kontak saat Jena ikut suaminya pindah dan Papa juga tidak tahu pindah ke mana. Sekian waktu berlalu setelah itu, Papa pun juga sudah menikah dengan Mama kamu. Papa dan Jena tidak saling mengetahui kabar satu sama lain sampai pada akhirnya Papa mendengar kabar dari kawan-kawan lama bahwa rumah tangga Jena bermasalah.
"Mungkin salah Papa, Yas, gak jujur dari awal sama mamamu sewaktu Papa ingin mencari kabar Jena. Tapi niat Papa mencari kabar Jena saat itu murni karena Papa ingin tahu sebagai seorang teman. Papa hanya ingin tahu apakah Jena baik-baik saja atau mungkin perlu bantuan. Hanya itu. Sama sekali tak ada niat di hati Papa untuk menjalin hubungan lagi dengan Jena."
"Tapi Mama akhirnya tahu?" tanya Tyas.
Andi mengangguk. "Mamamu sempat salah paham tapi pada akhirnya ia bisa memahami kalau perasaan Papa terhadap Jena hanya karena Papa peduli, bukan karena Papa ingin memilikinya kembali." Andi terdiam sesaat. Matanya menerawang entah kemana. Namun satu hal yang pasti, ia membayangkan istrinya.
"Papa sangat mencintai mamamu, Yas. Tadinya Papa gak mau menikah lagi. Gak masalah kalau pun Papa harus tua seorang diri, tapi... janji tetaplah janji dan Papa harus tepati."
Tyas mendengarkan dengan seksama setiap kalimat yang dilontarkan oleh papanya. Dalam hatinya ia bisa merasakan bahwa mamanya sangat mencintai papanya dan begitupun juga dengan papanya. Cinta mamanya terhadap papanya begitu luar biasa sampai-sampai meminta suaminya menikah lagi hanya karena tak ingin suaminya hidup sendiri. Dari mama dan papanya, Tyas belajar bahwa cinta tak selalu soal kebersamaan tapi juga tentang pengorbanan dan keikhlasan.
Tyas kemudian melingkarkan tangannya di pinggang papanya dan menyandarkan kepalanya di dada Andi. "Tyas ngerti, Pa. Maafin Tyas selama ini udah bersikap buruk sama Papa dan Tante Jena," ujarnya.
Andi tersenyum dan membalas pelukan Tyas. "Papa juga minta maaf ya, Sayang," ujarnya.
Sementara itu, tanpa keduanya tahu, dari luar ruang kerja Andi ada seseorang yang juga turut senang karena kesalahpahaman antara ayah dan anak itu sudah berakhir.
Aku tahu Mas kamu menikahiku karena menjalankan amanah, tapi aku ikhlas. Kita sama-sama berada pada usia dimana cinta yang menggebu-gebu tak lagi penting. Selama kita bisa saling menjaga komitmen, bagiku itu sudah cukup.
Jena pun melangkah pergi ke kamarnya. Ia sangat lega, dan ia yakin ke depannya keluarga kecil mereka pasti bisa bahagia.
***
To be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
To Make You Up [DaMay Friend's Story]
Romance[Complete] Tyas Anjani, seorang mahasiswi semester tujuh yang berprofesi sampingan sebagai make up artist dalam bisnis kecantikan kecil-kecilan yang dikelolanya bersama dua orang temannya. Bagi Tyas, hal yang paling membuatnya sebal adalah ketika me...