"Tapi, Tante, Tyas pernah tanya sama Papa, 'apa sewaktu menikah dengan Mama, Papa sudah melupakan Tante Jena?' dan Papa gak bisa menjawabnya. Bukannya itu berarti Papa masih mencintai Tante Jena selama menikah dengan Mama?"
"Sayang, tidak melupakan bukan berarti masih menginginkan. Sama saja seperti Tante masih ingat pernah menjalin hubungan dengan siapa saja sebelum menikah dengan Om kamu. Ingatan itu masih ada, tapi tidak dengan perasaannya. Begitupun dengan papamu."
"Tapi kenapa harus Tante Jena? Apa Mama gak tahu kalau Tante Jena dan Papa adalah mantan kekasih?"
Ika tersenyum dan mengusap lembut pipi Tyas. "Mamamu tahu, Sayang. Justru karena itu mamamu meminta papamu untuk menikah dengan Jena. Mamamu pikir karena Jena pernah mencintai papamu pasti tidak butuh waktu lama baginya untuk kembali menyayangi papamu juga menerima keturunannya, yaitu kamu dan kakakmu. Sekarang, Tante rasa firasat mamamu benar kan? Jena bisa menyayangi kalian berdua seolah kalian adalah anaknya sendiri."
Tyas terdiam. Dalam hati membenarkan kata-kata Ika. Jena memang selalu memperlakukannya dengan baik. Tidak seperti ibu tiri jahat yang kerap dikisahkan dalam film atau sinetron, sikap Jena jauh dari kata kejam.
"Darimana Mama tahu soal Tante Jena, Tante?"
"Soal itu kamu tanyakan sendiri sama Papa kamu, Sayang. Yang jelas selama menikah dengan mamamu, Tante yakin Papa kamu gak pernah bermain api dengan Jena. Kenapa? Karena kalau memang papamu punya niat seperti itu, ia bisa saja melakukannya dari sebelum memiliki anak tapi nyatanya ia tidak melakukannya. Ia baru berhubungan lagi dengan Jena benar-benar setelah mamamu meninggal."
Kepala Tyas rasanya berdenyut pusing karena otaknya terus saja memutar kembali percakapannya dengan Ika semalam. Niat hati pergi untuk menenangkan diri, tapi nyatanya saat ini justru Tyas kembali dengan keadaan gelisah. Setelah mendengarkan semua penjelasan dari tantenya, perasaan Tyas semakin tak karuan. Apa yang telah dilakukannya selama ini? Berpikiran negatif tentang papanya tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya.
"... kalau kamu marah atau gak suka sama sesuatu, jangan berlebihan. Kita gak pernah tahu rencana Tuhan seperti apa. Bisa jadi yang kamu benci itu ternyata adalah yang terbaik buat kamu."
Kata-kata kakaknya ternyata benar. Rasanya Tyas jadi malu dengan sikapnya selama ini. Tyas menyandarkan kepalanya di atas meja. Baru kali ini kepalanya terasa sangat berat untuk disanggah hanya dengan leher saja.
Melisa yang duduk di samping Tyas ikut menundukkan sedikit kepalanya. Ditepuk-tepuknya punggung Tyas seraya berbisik, "Lu kalau gak enak badan, balik aja. ID Card lu siniin nanti biar gue absenin." Daritadi Tyas terlihat lesu dan tidak bersemangat, makanya Melisa pikir gadis itu sedang sakit.
Tyas menggeleng pelan dan menegakkan kembali tubuhnya. "Gue gak apa-apa," jawabnya. Tyas pikir percuma juga dia pulang lebih cepat. Yang ada malah pikirannya semakin bertambah ruwet sebab sekarang Tyas tidak tahu harus bersikap bagaimana terhadap Jena ataupun papanya setelah mendengar semua penjelasan dari tantenya.
***
Selesai mengikuti kelas yang materi kuliahnya hari ini sama sekali tidak masuk ke otaknya, Tyas langsung pergi ke toilet untuk mencuci mukanya. Sensasi dingin dari air setidaknya bisa sedikit membantunya menyegarkan wajahnya.
"Yas, lu mau langsung balik gak?" tanya Melisa yang mengekor Tyas ke toilet.
"Kenapa emang?" tanya Tyas balik.
"Temenin gue ke mall bentar yuk! Mau beli sheet mask."
Tyas berpikir sejenak. Daripada gak tahu juga di rumah mau ngapain, mungkin ada baiknya kalau Tyas mengulur waktu untuk pulang dengan pergi bersama Melisa. "Ya sudah," jawabnya setuju.
KAMU SEDANG MEMBACA
To Make You Up [DaMay Friend's Story]
Romance[Complete] Tyas Anjani, seorang mahasiswi semester tujuh yang berprofesi sampingan sebagai make up artist dalam bisnis kecantikan kecil-kecilan yang dikelolanya bersama dua orang temannya. Bagi Tyas, hal yang paling membuatnya sebal adalah ketika me...