"Tunggu!" Leo berseru pada seseorang yang sudah lebih dulu masuk ke dalam lift. Berharap orang itu dapat menahan lift untuknya. Beruntung, seruan Leo itu didengarkan sebab pintu lift masih tetap terbuka hingga Leo bisa ikut masuk ke dalam.
"Oh, elu toh," sahut seseorang dari dalam lift yang ternyata adalah Citra.
"Lah elu, Cit. Thanks ya," balas Leo.
"Tumben lu datang pagi," ujar Citra.
"Bu Lasmi hari ini bawa ketupat sayur katanya," jawab Leo santai.
Citra langsung geleng-geleng kepala mendengarnya. "Dasar orang gila, udah dapet yang belia tapi yang tua masih belum dilepas juga," cibirnya.
Leo tertawa, "Ya anggap saja sekali dayung, dua pulau terlewati, Cit."
"Iya, terserah lu aja ya, Le," jawab Citra. Begitu tiba di lantai tujuan mereka dan pintu lift terbuka, Citra langsung melangkah keluar menuju ruangan mereka.
"Bentar, Cit," sergah Leo. Diambilnya kartu undangan pernikahan Lia dari dalam tasnya lalu diberikannya pada Citra. "Kalau senggang, datang ya," ujarnya
Citra membaca sekilas sampul depan dari kartu undangan itu dan ia memandang Leo bingung. "Gue diundang?" tanyanya memastikan.
Leo mengangguk. "Emang kenapa? Lu gak mau?" tanyanya balik.
Citra tersenyum dan menggeleng. "Bukan itu. Gue cuma agak canggung aja kalau ketemu Lia lagi setelah yang terjadi di antara..." Citra tidak melanjutkan kalimatnya. Ia menatap Leo dan mengangkat kedua bahunya. Ia yakin Leo pasti mengerti apa maksudnya.
Leo ikut tersenyum. "Santai aja lah, Cit. Lia juga pasti sibuk di atas pelaminan. Lagipula, gak ada untungnya kalau kita terbelenggu masa lalu."
Citra menatap Leo sekilas sebelum akhirnya mengangguk. "Oke, thanks undangannya ya," ujarnya. "Semoga lu juga cepat menyusul ya, Le," imbuhnya.
Leo mengangguk. "Amin, tapi gue sih santai aja lah, Cit. Pernikahan itu kan bukan lomba."
"Ya emang menikah bukan perlombaan, tapi cewek kan juga butuh kepastian. Kalau gak ada usaha buat melangkah ke depan, gimana bisa kita bertahan?"
Leo terdiam mendengar kalimat Citra. Sadar bahwa apa yang dikatakannya mungkin menyinggung Leo, Citra pun meminta maaf. "Sorry, Le, gak ada maksud apa-apa. Itu cuma sekadar opini gue. Ya udah, gue masuk duluan ya," pamit Citra yang kemudian kembali melanjutkan langkahnya menuju ruang kerja.
Leo menghela napas pelan. Maaf, Cit, dulu gue bukannya gak mau usaha tapi gue gak mau ngelawan orang tua, lirih Leo dalam hati. "Gue harap kita bahagia, Cit, dengan jalan kita masing-masing," ucap Leo pelan yang kemudian berjalan menuju pantry untuk menjemput sarapan gratisnya.
***
Tyas masih guling-gulingan di atas kasur merasakan mulas di perutnya. Tidak, ini bukan karena gadis itu ingin buang air besar tapi karena Leo tiba-tiba menguhubunginya dan bilang akan menjemputnya. Kalau cuma pergi keluar biasa sih mungkin Tyas masih oke oke aja, tapi Leo bilang dia ingin mengajak Tyas untuk bertemu dan makan malam dengan ayahnya yang baru saja pulang dari berlayar.
"Ya Allah, apa aku pura-pura sakit aja ya? Ah, tapi Leo pasti curiga. Atau pura-pura mati aja ya sekalian? Ya Allah, kenapa juga sih dia mau bawa aku ketemu bapaknya?!"
Sejak tadi Tyas cuma bisa misuh-misuh sendiri. Padahal, waktu untuknya bersiap-siap hanya sisa 45 menit karena Leo bilang akan menjemputnya jam tujuh malam dan saat ini sudah jam enam lewat.
Penginnya sih mencari alasan supaya dirinya tidak jadi pergi. Tapi semakin dicari, alibi-alibi yang muncul di kepalanya justru malah semakin tidak rasional.
KAMU SEDANG MEMBACA
To Make You Up [DaMay Friend's Story]
Romance[Complete] Tyas Anjani, seorang mahasiswi semester tujuh yang berprofesi sampingan sebagai make up artist dalam bisnis kecantikan kecil-kecilan yang dikelolanya bersama dua orang temannya. Bagi Tyas, hal yang paling membuatnya sebal adalah ketika me...