32. Keras Kepala

13.8K 1.9K 21
                                    

"Jena itu pasti orang yang penting buat kamu ya, Mas? Kenapa gak pernah cerita sama aku?"

Andi tersentak mendengar pertanyaan Listy-istrinya. Kenapa ia tiba-tiba bertanya seperti itu? Dan yang lebih penting, dari mana istrinya tahu soal Jena?

"Maksud kamu apa, Sayang?"

"Perempuan bernama Jena itu pasti memiliki peran yang penting di masa lalu kamu ya? Terus kenapa hubungan kalian bisa berakhir?" Alih-alih menjawab, Listy justru malah membalas pertanyaan Andi dengan pertanyaan lagi.

"Kamu ini bicara apa?"

"Maaf, tadi aku gak sengaja menjawab telepon masuk di ponselmu. Orang yang telepon itu bilang 'Di, gue dapat kabar kalau Jena balik lagi ke Jakarta. Dengar-dengar sih kayaknya dia mau cerai. Kasihan dia. Coba dulu kalian gak putus ya, pasti sekarang kalian jadi keluarga harmonis' begitu katanya," ujar Listy mengulang kembali apa yang ia dengar dari telepon sewaktu suaminya tengah mandi.

Andi terperangah mendengar apa yang dikatakan Listy. Ia meneguk salivanya sesaat sebelum kemudian berdiri dan berjalan mendekati istrinya yang duduk di tepi ranjang.

"Sayang, ini gak seperti yang kamu kira."

"Lalu?" tanya Listy dingin.

Andi menghela napas pelan. "Aku mohon jangan salah paham," lirihnya.

"Kalau begitu tolong benarkan kembali pemahamanku."

Andi mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya menceritakan tentang siapa Jena dan apa hubungannya dengan Jena di masa lalu. "Tapi itu hanya kenangan masa lalu. Saat menikah denganmu, hatiku sudah milikmu."

"Tapi dia masih ada di pikiranmu, Mas. Kamu masih mencarinya. Bukankah itu berarti kamu masih mencintainya?"

Andi berdecak pelan. "Aku hanya penasaran. Aku sekadar ingin tahu bagaimana kabarnya. Mungkin dia memang bagian dari memori masa laluku, tapi bukan berarti dia menguasai semua isi pikiranku kan? Lis, kita sudah lama menikah. Kita juga telah memiliki dua anak perempuan. Apa menurutmu aku bisa hidup bersama selama belasan tahun dengan seorang wanita jika bukan karena aku mencintainya? Bukankah sudah jelas kalau sekarang yang kucintai itu cuma kamu?"

Listy tetap diam. Yang bisa ia lakukan hanyalah menatap mata suaminya. Melalui tatapan Andi, ia bisa merasakan kesungguhan suaminya.

Andi menggenggam tangan istrinya. "Listy... kumohon percayalah padaku," lirihnya.

Pada akhirnya Listy mengangguk. Tangannya terulur untuk memeluk suaminya. Andi benar. Mereka telah menikah. Apa pun yang menjadi masa lalu Andi, maka Listy akan menerimanya. Lagipula, Andi telah memilih untuk hidup bersamanya, maka itu berarti Listy lah satu-satunya wanita yang telah memenangkan hati suaminya.

Setelah kesalahpahaman itu, tidak ada yang berubah dari kehidupan rumah tangga Andi dan Listy. Keduanya tetap rukun seperti biasa. Listy memilih untuk tidak memperpanjang rasa keingintahuannya tentang Jena dan Andi pun sudah memutuskan untuk tidak lagi mencari kabar Jena. Semuanya harusnya tetap berjalan seperti ini sampai pada akhirnya takdir ternyata berkata lain. Listy jatuh sakit. Ia mengalami gagal ginjal. Semua terapi dan pengobatan sudah ia coba. Cuci darah pun seolah tak begitu banyak membantu. Tubuhnya kian lemah seiring semangat hidupnya yang juga kian menipis sebab penyakitnya yang justru bertambah parah dan menimbulkan banyak komplikasi pada organ tubuhnya yang lain.

"Mas..." Listy memanggil lirih suaminya.

Andi yang sedari tadi sudah mengerjap karena mengantuk pun kembali membuka lebar matanya. Digenggamnya tangan Listy. "Kenapa, sayang? Kamu mau ke kamar mandi?" tanyanya.

Listy menggeleng. Diliriknya jam di dinding rumah sakit yang menunjukkan waktu sebelas malam. "Mas pulang saja. Kamu juga butuh istirahat," ujarnya.

Andi menggeleng. "Aku bisa istirahat di sini kok. Kamu gak usah khawatir," tolaknya.

"Mas, delapan hari lagi aku ulang tahun. Apa menurutmu umurku akan sampai?"

Andi mengusap pipi istrinya. "Jangan mikir yang macam-macam, Sayang. Kamu pasti kuat."

Listy menitikkan air matanya. Dieratkannya genggaman tangan Andi. "Boleh aku buat permintaan untuk ulang tahunku sekarang, Mas?"

Andi menghela napas pasrah. Berdebat dengan istrinya saat ini tidak akan membuat keadaan lebih baik. Ia pun akhirnya mengangguk. "Kamu mau apa?"

"Kamu akan mengabulkan permintaanku kan, Mas?"

Andi mengangguk lagi.

"Seandainya..." Sebenarnya ini juga permintaan yang berat untuk Listy ucapkan, tapi ia merasa harus melakukannya. "Seandainya aku tak bisa lagi berada di sisimu dan anak-anak kita, aku mau kamu mencari penggantiku, Mas," ujarnya.

Andi tersentak mendengar permintaan Listy. Baru ia akan menolak, Listy mendahuluinya dengan melanjutkan kata-katanya. "Jika Jena benar bercerai dengan suaminya, menikahlah dengannya."

Bukan hanya kaget, tapi kali ini Andi juga marah. Dilepaskannya genggaman Listy dari tangannya. "Kenapa sih tiba-tiba kamu ungkit soal Jena lagi? Aku cinta sama kamu, Lis! Apa kamu masih gak percaya?"

Air mata Listy menetes. "Aku percaya, Mas. Sangat. Aku juga mencintaimu."

"Terus kenapa kamu malah bicara kayak gitu?" Andi kembali melunak. Ia sadar kalau kondisi emosi istrinya saat ini pasti tidak stabil. Memarahinya hanya akan memperburuk keadaannya.

Pandangan mata Listy menerawang langit-langit rumah sakit. Jemarinya menghapus jejak air mata yang mengalir ke pelipisnya. "Anya sudah menikah dan punya keluarga sendiri. Kelak, Tyas pun akan dipinang dan dibawa oleh suaminya juga. Putri-putri kita akan disibukkan dengan keluarga kecil mereka masing-masing, Mas. Aku hanya berpikir... seandainya aku tak mampu untuk terus ada di sisimu, aku mau ada orang lain yang menemanimu, mengurusmu, merawatmu, dan menua bersamamu."

Mendengar alasan Listy, hati Andi bagai teriris. Andi lantas kembali menggenggam tangan istrinya. "Kamu, Lis! Kamu yang akan mendampingiku selamanya. Jangan pikirkan orang lain."

Listy kembali menatap suaminya. "Mas, aku mohon sama kamu," kukuh Listy tak mengindahkan kata-kata Andi sebelumnya. "Seandainya aku tak mampu bertahan, seandainya Jena memang bercerai dengan suaminya, menikahlah dengannya. Setidaknya Jena adalah satu-satunya wanita yang kutahu pernah mencintai dan dicintai olehmu. Dia pasti bisa menyayangimu dan menerima keturunanmu."

"Lis—"

"Tapi seandainya Jena masih berumah tangga dengan suaminya, kamu tetap harus menikah lagi. Meski pun dengan orang lain. Yang penting orang itu mencintaimu dan mau menyayangi anak-anak kita."

"Listy, cukup!" bentak Andi. "Jangan bicara omong kosong lagi," hardiknya.

Listy menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Melihat air mata istrinya, amarah Andi kembali luruh. "Maaf, aku gak bermaksud kasar sama kamu," ucapnya. "Tapi aku mohon, Lis, jangan begini. Aku yakin kamu pasti bisa melewati ini semua."

"Aku akan berusaha semampuku untuk bertahan, tapi kamu juga harus berjanji untuk memenuhi permintaanku."

Andi meneguk salivanya menatap layar ponselnya. "Tyas sama keras kepalanya sepertimu, Sayang" ujarnya sebelum pipinya basah oleh air yang mengalir dari matanya.

***

To be continue

To Make You Up [DaMay Friend's Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang