Prolog

74.6K 4.1K 237
                                    

"Iya, Ma, Kumala usahakan bisa pulang akhir pekan ini."

"Hm... percaya nggak ya? Dari jaman kapan ngomongnya gitu terus."

Aku nyaris terkikik mendengar nada bergurau setengah kesal Mama di seberang telepon, yah... sudah sekian kali aku berjanji akan pulang tapi keadaan berkata lain.

"Terus Mala harus bilang apa? Mala 'kan masih baru di kantor ini, Ma. Belum target udah main cuti aja kan malu."

"Kerjaan nggak bakal ada habisnya, Nak, tapi umur kamu-"

Umur! Sebentar lagi aku tiga puluh, tolong jangan disinggung. Pamali.

"Pastiin aja kalau calon Mama ini yang terbaik," aku menyela, "siapa tahu begitu Kumala pulang bisa langsung nikah."

"Memangnya kawinin ayam, main nyeruduk gitu aja?"

"Kumala nggak masalah kok, Ma. Asal dia single, nggak ketuaan apalagi kemudaan, rajin, baik, dan kalau bisa ganteng."

Mama berdecak sebal, "kalau yang begitu sih nggak usah nungguin kamu pulang juga sudah sold out, Nak."

"Belum tentu, Ma. Kalau belum ketemu jodohnya, gimana? Lihat nih anak Mama, udah di-sale harga miring gini aja belum sold out."

"Hush! Ngomong apa sih kamu, anak Mama nggak di-sale."

Aku terkekeh pelan, bermaksud agar Mama tidak kepikiran soal sale. "Ya udah, Ma, Kumala lagi di kantor nih, mau ketemu Big Boss, doain urusan Mala lancar ya."

"Mama doain kamu ketemu jodohmu."

Langsung kusambar tanpa berpikir lagi, "Amin! Bye, Mama!" Mama fokus ya, minta doa apa, didoainnya apa.

Untuk terakhir kalinya aku memeriksa senyum melalui kaca spion mobil operasional, aku harus memastikan tidak ada cabai dan daun singkong menyusup di antara gigiku. Begitulah suka dukanya makan nasi Padang, pas dimakan nikmat, selesai makan kadang suka bikin malu.

Kemudian kupastikan lagi tatanan rambutku yang... yah, tidak istimewa. Lagi pula kenapa harus istimewa, orang yang bakal kutemui siang ini tidak istimewa juga. Dia tidak akan peduli seperti apa penampilanku, yang dia pedulikan adalah isi tas jinjingku. Berkas yang harus periksa olehnya dan di-acc kalau sudah benar sih. Semua lengkap, runut, dan siap. Apalagi yang kucemaskan?

Mental. Sekalipun semua berkas sudah kupersiapkan tapi mentalku seolah tidak akan pernah siap menghadapi orang ganteng-, ralat, orang ketus se-regional empat.

Perihal ketampanan dan keseksian seorang General Manager bernama Erlangga Putra sudah menjadi fenomena di kalangan karyawan bank ini sejak beliau diangkat. Tapi, aku tidak ikut ambil bagian dari euforia GM tampan itu, umurku sudah tidak mengijinkan aku untuk memuja tampang seseorang. Menurutku tampang itu nomor 2, kaya nomor 3. Nomor 1-a, baik. Nomor 1-b dan paling penting adalah dia sayang dan mau serius nikah sama aku. Cukup realistis kan?

Muluk, keles!

Dan sampai sekarang pria yang paling cocok dengan semua itu menurutku masih mantan terindahku, Tria Hardy Aldriansyah.

Yah... gagal move on lagi kan. Ok, skip!

Lalu kenapa aku nggak pernah siap bertemu Big Boss? Ya karena tidak ada bawahan yang siap membawa masalah kepada atasan mereka yang perfeksionis.

Berkat Big Boss, sejak pagi aku sudah mengalami gejala kecemasan seperti: senam jantung, kepala pusing, perut mulas, dan gangguan pencernaan lainnya. Sensasinya tidak jauh berbeda seperti akan bertemu gebetan sih, bedanya yang ini diwarnai sensasi mencekam.

Selain karena aku belum pernah bertemu empat mata saja dengan beliau, sebenarnya hari ini aku datang diluar waktu yang dijanjikan.

Seharusnya kami bertemu pada hari Senin kemarin, akan tetapi kemarin juga adalah jadwal seleksi CPNS yang harus kuhadiri. Sudah bolos, nggak lolos pula. Bisa dibayangkan perasaanku yang campur aduk. Apa ini yang dinamakan cinta-, ralat lagi... karma?

Oleh karena itu hari ini aku datang dengan dua harapan. Pertama, aku berharap kalau GM super sibuk ini lupa sudah membuat janji denganku—maklum, urusannya banyak. Kedua, andai dia ingat pun aku akan memberikan alasan paling klise, sakit. Semoga dia percaya.

Andai saja Wening selaku SDM mudah diajak kerjasama mungkin alasanku bisa lebih kuat lagi, sayangnya bagi Wening cuti bukanlah tahu bulat, tidak bisa dadakan.

"Mba Mala mau turun apa ikut saya ke warung kopi?"

Sindiran Mas Leo—driver—menyadarkan pikiranku yang mulai menjalar kemana – mana.

"Eh, turun dong, Mas. Nanti saya pulangnya bareng lagi ya."

"Oke, Mba Mala."

Sampai di lantai dimana kantor General Managerku berada, aku agak tergesa – gesa ingin segera masuk ke ruangannya. Lebih cepat lebih baik. Akan tetapi Ananda, sekretaris Si Big Boss menahanku.

"Mau ketemu Bos ya?"

Aku mengangguk, "iya."

"Di dalam masih ada orang, Mba tunggu aja dulu di sini."

Semakin lama ditunda, semakin nggak keruan rasa ini.

Aku duduk di deretan sofa sambil memikirkan hal apa yang mampu mengalihkan kecemasan tak bergunaku ini. Dan Tria selalu menjadi obyek favoritku, setiap kali memikirkan Tria kecemasanku teralihkan, entah oleh kenangan manis kita atau kenangan menyakitkan. Aneh juga, seharusnya aku meradang teringat bagaimana hubungan kami hancur permanen karena seorang perempuan.

Hanya saja pertemuan kami di kantor lama kita mengubah sebagian persepsiku tentangnya, selain aku sudah lebih dewasa menyikapi masalah, kulihat Tria memang sudah berubah.

Sayangnya dia tidak berubah untukku. Teganya dia memilih untuk ta'aruf dengan orang lain. Sebenarnya salahku apa sih? Andai dia mau berusaha lebih keras, aku mau kok kita balikan.

Lama tak kudengar kabarnya sejak aku memutuskan pindah kerja karena alasan melankolis, aku tidak tahan jika harus melihat dia bersama orang lain.

Setiap kali pulang ke rumah, tidak ada kabar Tria menikah atau akan menikah. Keluarga kami saling mengenal, tidak mungkin kalau Papa dan Mama tidak diberitahu. Kusimpulkan Tria belum menikah karena ta'arufnya gagal. Amin...!

"Anjing!"

Lamunanku buyar saat pintu kantor Erlangga terbuka dan seorang pria mengumpat pelan tapi kedengaran. Aku membatin sudah pasti terjadi hal tidak mengenakan di dalam sana.

Oke, dengan mood Pak GM yang seperti ini, mampukah aku menghadapi beliau? Jangan – jangan mau duduk aja harus bawa kursi sendiri.

Aku meluruskan punggungku dan menarik napas dalam – dalam, ini cuma pekerjaan, andai aku dipecat dengan tidak hormat, kupastikan dia mendapatkan setidaknya satu kata kotor dari bibirku.

"Mba Kumala, silakan!" Ananda terdengar tidak yakin ketika memintaku masuk ke dalam.

Kudorong tubuhku sendiri masuk ke kandang Singa, di sana duduk pria dalam setelan kemeja berwarna biru muda nyaris putih. Alis tebalnya bertaut di tengah kala memperhatikan layar monitor di sisinya, sepertinya ia tidak menyadari kedatanganku hingga aku mengucapkan salam.

"Siang, Pak!"

Pria itu mendongak, mengalihkan pandangannya dari layar monitor ke wajahku. Duarr! Belum apa – apa lutut sudah gemetar, gini ini kalau orang kebanyakan dosa.

"Silakan tutup pintunya!"

Jeng!Jeng! Welcome to the jungle! Kalau pria sebelum aku tadi keluar dari ruangan BigBoss dengan kata 'anjing' maka aku mungkin akan mengumpat di luar dengan kata... 'anak anjing!'

Jangan (takut) CLBKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang