22

21.3K 2.5K 243
                                    

PART 22

SEKARANG HANYA KAMU

Bel sudah terlanjur ditekan, tidak ada kesempatan untuk kabur sekarang. Aku memeluk file case di depan dada sebagai perlindungan diri. Nggak tahu kenapa setiap dengar nama Erlangga bawaannya ingin melindungi hati. Aku menjadi sangat rapuh kalau urusannya sama Big Boss.

Pintu terbuka di depan mataku, Erlangga berdiri dengan kaos abu - abu, celana pendek, rambut nggak ditata dengan gel, dan... ya ampun, itu pipi kenapa?

Kedua mataku melebar, aku melupakan rasa gugup yang telah menghantuiku sejak tadi. Rahang Erlangga berwarna ungu kehitaman. Ini orang pasti salto tadi pagi. Kepingin pegang tapi nggak boleh, kan sedang kunjungi si bos bukan gebetan.

Aku berdeham setelah mengingat tujuanku datang kemari.

"Siang, Pak. Maaf mengganggu istirahatnya. Saya mau minta acc untuk dokumen ini, karena harus segera diproses. Bapak berkenan?"

Ia mengangguk, singkat dan dingin. Sikapnya seperti penguasa gedung kantor walau sedang dalam balutan pakaian bebas. Tidak sedikit pun ia menunjukan bahwa kita lebih dari atasan dan bawahan. Hatiku tercubit, apa Erlangga juga benar - benar sudah mundur ya?

"Di sini saja," ia menunjuk meja tamu dan kami duduk berhadapan.

Dia masih belum mengeluarkan sepatah kata pun dan langsung memeriksa berkas. Aku menunggu sambil mengamati penampilannya, sekarang pun tangannya masih sering menghantuiku. Lengan itu pernah memelukku, membelai wajah dan kepalaku, tapi kini melihatnya memegang kertas saja rasanya seperti memegang pisau.

Menjauh dari saya, Mala. Kamu najis! Rasanya seperti dikatain gitu sama Erlangga.

Aku bertanya - tanya, begitu mudahnya Erlangga mundur dari hubungan nggak jelas kita, katanya mau perjuangin aku di depan Kresna Pramono. Apa mungkin perempuan nggak suci emang nggak pantes diperjuangin ya?

Tapi masa gitu? Nggaklah, hari gini keperawanan bukan satu - satunya. Keperawanan bukan salah satu bagian dari bibit, bobot, bebet deh. Lagi pula 3B juga sudah nggak berlaku. Malah janda lebih laku. Kalau emang janda nggak laku nih ya, harusnya aku sudah punya anak sekarang.

Tuh kan, rajanya gagal fokus.

Alisnya bertaut membidik bagian - bagian yang penting dengan efektif, caranya membalik halaman pun terkesan mantap dan berbahaya. Macam - macam, kamu saya SP. Kesannya gitu.

Ga, kamu kok bisa bersikap tidak peduli padaku? Apa jangan - jangan selama ini kamu cuma iseng?

Mungkin dia sama saja dengan Tria cuma mengincar perawanku. Tapi Erlangga kan sebelumnya nggak tahu kalau aku masih perawan atau nggak, mungkin dia kecewa.

"Bawa pulpen?" Erlangga mendongak, ini adalah kali pertama dia bicara sambil memandang wajahku.

Menahan sesak di dada karena sikapnya yang menjaga jarak, aku kembali mengingatkan diri tujuanku datang kemari.

"Sebentar, Pak," dengan tangan gemetar aku membuka tas dan mencari pulpen yang mendadak ngumpet entah di mana. "Kok nggak ada ya?" sial! Aku gugup sekali sekarang, "sebentar ya, Pak."

Sepertinya dia merasakan kegugupanku, atau mungkin emosi yang gagal kusembunyikan di wajahku. Dia berdiri menjauhi meja, tapi aku tidak berani mengangkat wajahku, masih menunduk dan mencari pulpen sialan itu. Rasanya ingin menumpahkan semua isi tasku ke atas meja deh kalau begini.

"Pulpen saya saja." Ia kembali dengan pena di tangan lalu duduk di tempat yang ia tinggalkan tadi.

Aku berhenti mencari benda itu tapi tidak berhenti mencari jawaban kenapa Erlangga begitu dingin padaku. Tunggu, kamu masih Erlangga yang suka godain aku, kan? Kamu yang kemarin ciuman sama aku di kamar hotel itu, kan? Ga, ini kamu atau bukan sih?

Jangan (takut) CLBKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang