24

20K 2.2K 204
                                    

PART 24

NEPOTISME

Melihat sikap Kresna Pramono waktu itu buatku pesimis untuk melanjutkan hubungan kami. Dia benar – benar tidak menilaiku sebagai makhluk sosial yang bermartabat. Di matanya, aku amoeba—kelihatan aja nggak.

"Pagi, Pak!" sapaku ramah saat itu setelah ia menduga putranya menganut aliran putar balik, aku terpaksa memasang formalitas seperti sedang menemui nasabah karena aku yakin Kresna Pramono bakal anfal kalau kupanggil Papa.

Sudah seperti itu pun dia masih enggan melirik ke arahku, tatapan tajamnya tetap beradu dengan wajah merah padam Erlangga.

"Jadi ini yang kamu maksud berdamai dengan saya?" Nada Kresna yang begitu dingin membuatku melangkah mundur tanpa kusadari. Pasti aku sudah kabur kalau bukan tangan Erlangga yang menahan tubuhku.

"Namanya Kumala, dan dia baru saja menyapa kamu," ucap Erlangga dingin.

Kresna mengabaikan protes anaknya. Anaknya saja tidak diacuhkan apalagi aku yang cuma kacung Erlangga?

"Saya tahu kamu pernah gagal, saya tahu bagaimana rasanya. Kamu pikir kamu saja yang mengalami itu? Saya juga, kakak kamu juga, tapi bukan berarti kamu ambil random people untuk kamu jadikan istri," ia melirik jijik ke arahku, "lebih baik kamu berdamai dengan Helena."

"Saya tidak dalam rangka meminta ijin pada kamu untuk menikahi Kumala, dia ingin saya berdamai dengan kamu dan saya hanya berusaha mewujudkannya."

"Then you blame me for everything. Kamu tidak pernah mendengarkan saya, kamu itu durhaka."

"Kamu lupa? Menikahi Firinaya adalah ide kamu."

Intinya dari kejadian itu, Kresna sama sekali tidak merestui hubungan kami. Kalau seperti ini bagaimana aku bisa membujuk Mama untuk merestui hubunganku dengan Erlangga yang notabene duda?

Hubungan ini sia – sia deh, dipaksakan pun tidak akan bagus. Lantas aku harus bagaimana? Hati sudah terlanjur cinta dengan Erlangga.

Mungkin belum terlambat untuk mundur karena diteruskan hanya akan menyakiti banyak pihak. Hubungan kami memang impossible, sebaiknya aku jaga jarak dengannya sebelum jatuh terlalu dalam.

Ketika aku bingung dengan hubungan kami yang mulai rumit, Erlangga justru sangat santai seolah tidak terjadi apa – apa. Cara pria dewasa menghadapi masalah memang beda.

"Mal!" Pandji memintaku mengikutinya ke ruangan, "Dje, lo juga."

Aku dan Djena bertukar lirikan penuh tanya kenapa pagi ini kami dipanggil.

Di dalam sana Pandji menjelaskan panjang lebar tentang ketentuan penilaian semester sebentar lagi. Aku sadar bahwa performaku paling buruk karena belum mencapai target.

"...jadi sebagian tugas lo biar di-handle Djena. Lo fokus cari prospek," kata Pandji.

Tapi kemudian Djena protes, "gue nggak bisa, kerjaan gue banyak. Dan under gue bukan dia doang, Ji."

"Dia belum pegawai tetap, nggak ada SP buat dia kalau nggak target, dia bakal langsung di-cut."

Aku diam memperhatikan mereka yang sedang menentukan nasibku.

"Sebelum – sebelumnya nggak gini," kata Djena jengah, "kalau performa buruk ya memang nggak pantas di sini."

"Lo dan gue yang dapat SP kalau anak buah lo nggak achieve. Gue nggak mau tahu, lo ambil sebagian tugas dia yang mengharuskan ketemu direksi, biar dia penuhi targetnya."

Jangan (takut) CLBKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang