21

20.9K 2.3K 235
                                    

PART 21

SERTIFIKAT HAK MILIK ERLANGGA

"Aku udah kira kamu bakal gitu," kataku ketus karena tak mampu menyembunyikan emosi.

"Aku nggak ngira kamu bakal gitu," balas Tria dengan nada super dingin, dia bahkan tidak menatap mataku.

"..." bibirku terkatup rapat. Sebenarnya aku juga nggak mengira itu bakal terjadi. Suasananya mendukung banget. Kalau ditanya gimana rasanya... enak sih. Tapi setelah itu berantakan, aku memegang perutku yang mual.

Tria menghadapkan separuh tubuhnya padaku, ia menatap penuh ke wajahku.

"Kumala," katanya, "kalau boleh jujur, antara kita sudah nggak ada seru – serunya. Aku udah nggak penasaran sama kamu, jujur! Tapi entah kenapa aku selalu pengen balik ke kamu. Kemana pun aku pergi aku selalu ingin balik ke kamu seolah kamu adalah jangkarku."

"Sekarang yang aku rasakan terhadap kamu itu cuma... apa ya?" ia berusaha menggali kata - kata yang tepat, tidak peduli itu menyakitiku atau tidak, "aku hanya ingin melindungi kamu, aku ingin perhatian ke kamu, satu - satunya cara untuk itu ya kita nikah."

Aku langsung menatap ke dalam matanya, serius kamu masih ingin menikahi aku?

"Kamu mau nikahin aku hanya karena aku jangkar kamu? Jadi suatu hari nanti kamu bakal selingkuh dan balik ke aku? Gitu?"

"Tapi aku yakin kalau sudah menikah aku pasti berubah. Kamu pasti jaga aku. Aku yakin kamu berbeda dari yang lain, Sayang."

Tria menghela napas, aku tahu dia pasti bingung. "Dulu waktu kita masih bocah, aku tuh cinta mati sama kamu. Masih pakai seragam putih abu - abu tapi mikirnya pengen nikahin kamu. Bukan karena bercinta. Aku juga belum tahu itu. Ketika sudah kuliah, cintaku semakin gila, bukan berarti aku dewasa karena telah menginginkan hal - hal yang dewasa dari kamu. Aku tahu itu salah."

Kemudian ia melanjutkan, "sekarang setelah berpisah sekian lama, aku melihat kamu dari sisi yang berbeda. Kamu adalah wanita yang aku jaga sejak masih sekolah, kamu itu seperti bayi yang diambil susunya ketika ketemu aku."

Aku langsung mengerjap, "Gimana, Tria?" tanyaku soal 'bayi yang diambil susunya'.

Hanya dengan melihat wajahku aku tahu Tria sudah bisa menebak isi otakku yang sering eror. Pandangannya berubah canggung dan turun ke arah dadaku lalu kembali ke wajahku.

Ia mendengus kesal, "Maksud aku bukan yang 'itu', lagian itu sudah punya Erlangga, kan?"

Aku langsung menyilangkan tangan di depan dada, "punya Erlangga apanya? Punya akulah."

Tria menghela napas lagi, ia membuang muka tapi kemudian menoleh ke arahku dengan terpaksa.

"Waktu Erlangga ngelakuin itu... sakit nggak?" tanya Tria serius karena penasaran.

Aku terkesiap, membelalakan mata ke arahnya tapi kemudian membuang muka, perlahan tapi pasti aku pun mengangguk.

Aku melompat terkejut saat Tria memukul setirnya, "si anjing harus nikahin kamu."

"Apaan sih, nggak ada hubungannya sama nikah. Lagian dia itu berada jauh di atasku, derajatnya, gajinya, status sosialnya. Kalau menikah Erlangga harus terjun bebas ke posisiku atau aku yang merangkak naik ke posisinya."

Tria mengedikan bahu, "baru kepikiran sekarang? Waktu ngelakuin itu kamu nggak mikir strata sosial kalian?"

"..." aku diam.

"Kenapa dilakuin?"

"Terbawa suasana," aku pun menggeleng, "aduh, sebenarnya ngomongin ini sama kamu tuh canggung, Tria. Kamu kok bisa santai gitu?"

Jangan (takut) CLBKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang