26

22K 2.2K 277
                                    

PART 26

INI DI MANA YA?

"Pagi, Ning!" aku menyapa Wening seperti biasa pagi ini namun ia langsung membuang muka. Berbeda dengan aku, Wening memang perawan tua yang judes jadi tidak kuambil hati atas sikapnya yang demikian. Sudah biasa. Mungkin fase PMSnya Wening seumur hidup kali ya.

Aku masuk lebih ke dalam dan mendapati beberapa rekanku berkumpul karena asyik berghibah ria, suasana yang tidak asing karena kadang aku pun ikut nimbrung menggosipkan selebriti dadakan. Bisa berasal dari departemen lain bahkan teman sendiri.

Seringnya kami bergosip tentang Pandji dan Erlangga, mereka berdua adalah selebriti lokal yang membuat mata seger tapi otak panas dan sakit hati.

"...ya pantes aja kita disuruh duluin kerjaan dia."

"Ternyata gitu mainnya..."

Ada gosip apa pagi ini? Kelihatannya seru, namun begitu aku mendekat mereka pun bubar seperti misbar ketika diguyur hujan. Tatapan yang mereka berikan padaku pun gagal netral. Akhirnya aku menyimpulkan bahwa akulah selebriti lokalnya kali ini.

Riang. Pasti kader partai Perindo itu sudah menyebarkan hoax di kantor. Sekarang bagaimana aku harus menjalani hari - hariku? Kepala masih berasap karena invasi Kresna Pramono malah ditambah dengan gosip murahan. Udahlah, cuek aja. Ntar juga hilang sendiri gosipnya.

Aku duduk dengan tenang di kubikelku dan mulai mempelajari anak perusahaan milik Kresna, kebetulan hari ini tidak ada briefing pagi.

Semerbak aroma kopi yang kuat melintas di hidungku. Sejenak kupikir Papa mendatangi kantorku tapi saat kutengok ternyata Djena yang sudah bersandar di dinding luar kubikelku sambil menatap layar monitor.

"Handle Kresna ya?"

"Iya nih, Mas. Diover ke Kaka malah tersinggung orangnya."

"Ya lo kerjain aja, pantang pilih - pilih nasabah kali, Mal. Urusan pribadi jangan dibawa - bawa."

Maksud Djena apa? Urusan pribadi aku?

"Maksud aku, Kaka belum dapat prospekan, Mas, sementara aku udah achieve target semester kemarin."

"Emang ada tipikal debitur kaya gitu sih, lebih nyaman kalau kerjasama dengan perempuan."

"Aku kan bukan funding, Mas. Cowok cewek apa bedanya."

"Beda kali kalau ceweknya bisa dibeli." Setelah mengatakan itu Djena bergerak menjauhi kubikelku.

Ini nggak bisa dibiarin, main serang pagi - pagi. Aku berdiri dan memanggil Djena.

"Mas, maksudnya apa ya? Kalau Mas ada masalah dengan aku kan bisa diomongin baik - baik."

"Jujur ya, Mal, gue kira segala sikap lo selama ini ke kita - kita adalah diri lo yang sebenarnya, sok polos, sok naif. Ternyata lo kaya gitu, gue jijik lo ada di tim gue."

"Kayak gitu gimana, Mas? Bisa nggak kita duduk berdua terus bicarakan ini? Nggak teriak - teriak dari jarak jauh kayak gini?" Memangnya mau orasi?

Tapi Djena mengelak, "gue lagi banyak kerjaan, malah dapat limpahan tugas perpanjangan lo. Makasih banget, Mal. Cara lo nggak elegan."

Setelah itu dia pergi ke mejanya. Aku menoleh ke sekeliling, kudapati beberapa pasang mata mencuri pandang ke arahku bahkan Riang yang hendak masuk ke ruang marketing pun berbelok ketika aku menoleh ke arah pintu.

Nah, ini dia biang gosip calon terkena azab Ilahi. Kalo bisa kejatuhan meteor malah seru.

Aku mengikuti langkahnya yang tak tentu karena menghindariku hingga akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke toilet bersama tas ranselnya. Begitu pintu ditutup aku langsung menyambar kunci di meja penyimpanan, kita perang sekalian, Yang (ini kependekan dari Riang ya, bukan tiba - tiba aku sayang - sayangan sama dia, sekali lagi).

Jangan (takut) CLBKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang