15

24.4K 2.7K 311
                                    

PART 15

DI-BOOKING

"...ya gitu deh, Garda nggak mau dengerin omongan aku. Jadi kita belum ngobrolin apa - apa, dia kabur."

Sekali lagi kulirik meja bundar di seantero aula. Hari ini seharusnya aku merayakan hari jadi bank kami di kantor cabang bersama Kaka, Roro, Jeje, Riang, Djena, dan partner in trouble yang lain. Tapi aku justru terjebak di sini, di kantor pusat bersama Pandji.

Pasalnya aku ada urusan dengan bagian legal dan baru selesai hingga malam tiba. Kebetulan Pandji diundang langsung sama Erlangga karena nasabah prioritas kantor kami hadir di sana. Dan aku terjebak. 'Lo temenin gue di sini aja ya' pinta Pandji penuh harap tadi sore.

"Ya udah nanti aku yang ngomong sama Garda, itu pun kalo telepon aku diangkat. Kayaknya tuh anak menghindar deh."

"Hm... nanti aku kabarin lagi ya, aku lagi ada acara."

"Oke, jaga diri kamu, miss you, Sayang. Nanti sampai kosan aku video call, ya."

"Iya kalau nggak ketiduran. Miss you too!"

Aku menarik napas panjang sambil berjalan ke salah satu meja yang ada Pandjinya. Walau berada di kantor pusat seharian tapi aku belum bertemu Erlangga sama sekali. Sebenarnya kami belum bertemu atau berkomunikasi dalam bentuk apapun sejak malam itu.

"Woi, Kumal," aku mendengar suara Pandji memanggilku, "sini samping gue sebelum cewek lain mendekat, bisa jealous lo."

Karena aku tahu menyangkal apa yang diyakini Pandji hanya buang – buang waktu aku menghela napas dan duduk di sebelahnya.

"Lo... diacak - acak Erlangga ya?"

Aku langsung tersentak. Diacak - acak apanya dulu nih? Pikiran iya, hati iya, tapi badan nggak kok. Erlangga masih sopan - sopan aja.

Yah, walaupun pengandaian kemarin sukses bikin aku linglung seperti korban hipnotis Master Chef. Aku langsung berasa hamil, parahnya aku memeriksa perut di depan cermin tiap hari. Takut melendung.

"Diacak apanya, Pak?"

"Kerjaan lo lah, apalagi?"

Oh... kerjaan. Maaf, Pak, otak saya lagi nggak sinkron sama realita kehidupan.

"Pekerjaan diacak - acak sih udah biasa."

"Terus apa dong yang nggak biasa?"

Aku mencoba memikirkan jawaban atas pertanyaan Pandji, "enaknya apa ya, Pak?"

"Ah, telmi, ngomong ama lo lama. Kapan hari tuh pas gue belum sembuh bener, gue dapat kejutan." Waduh, jadi dengerin dia curhat. Yah lumayanlah dari pada hamil gara - gara mikirin Erlangga.

"Dapat kejutan apa nih, Pak? Pasti video call sama tunangannya ya? Duh... enak bener."

Ekspresi Pandji berubah muram, "gue putus."

Napasku tercekat, mataku terbelalak. Pandji putus? Kok bisa? Tanya apa nggak ya? Ah, nggak boleh ikut campur urusan orang. Lagian Pandji ini, nggak ditanya juga bakal curhat sendiri. Tungguin aja.

Pandji menoleh ke arahku ketika aku tidak memberikan tanggapan, "gue single sekarang, sama kek lo," katanya, "tapi bukan itu yang pengen gue omongin sekarang." Ia melipat tangan kemudian mengalihkan pandangan ke meja dimana Erlangga dan jajaran top manajemen berkumpul. "Gue sampai hari ini masih bertanya - tanya dan masih suka bertanya walau nggak dijawab sama si kampret."

"Tanya apaan, Pak?"

"Kemarin itu ngapain ya si Erlangga nyasar ke rumah gue tengah malam, pake numpang nginep segala lagi?"

Jangan (takut) CLBKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang