PART 10
DEJAVU
Aku sedang asyik makan snack sambil nonton film di kamar hotel Tria. Kami berdua duduk saling bersandar, bahu - membahu sudah seperti kerja bakti.
Aku sengaja mengambil jatah cuti hari ini sedangkan Tria ambil waktu setengah hari dengan alasan sakit karena besok Tria sudah harus kembali ke kantornya.
Sedih deh, sudah nggak ada status, LDR pula. Jangan salahkan aku kalau tiba – tiba ada yang naksir sama aku ya.
Kita sepakat untuk merapel rasa rindu dengan berduaan saja hari ini. Sedang asyik nonton film komedi tiba – tiba tangan Tria melingkari pinggangku, ia memiringkan wajah, mencari bibirku dengan bibirnya.
"Nggak jadi nonton nih?" bisikku di sela ciuman kami.
Tria menjawab dengan menempelkan bibirnya di telingaku, "kamu tahukan kalau aku bukan pengen nonton kalau lagi berduaan."
Kemudian dia mencumbuku lagi. Aku mengernyit ketika Tria menciumi leherku. Kok rasanya pengen dorong dia menjauh ya? Semacam ada yang salah dengan sentuhan Tria di tubuhku. Aku memejamkan mata, berusaha sekuat tenaga menikmati cumbuannya tapi tetap terasa salah. Ya salah aja pokoknya.
"Enak?"
Aku tersentak, kedua mataku terbuka lebar lalu dahiku mengernyit. Kenapa di saat seperti ini aku mendengar suara Erlangga ya? Berasa diteror.
Merasakan tubuhku yang menegang dalam pelukannya, Tria curiga, "kamu lagi mikirin cowok lain ya?"
Aku mengerjap gugup, gimana Tria bisa merasakan itu? "Nggak kok, mikirin siapa sih emangnya?"
Sebagai pria berpengalaman ia tidak lantas percaya begitu saja. Tatapan tajamnya menghujamku.
"Siapa?" tanya Tria dengan nada menuntut, "aku tahu kamu tiba – tiba kepikiran orang lain dan sudah pasti laki – laki."
Aku menggeleng, "nggak ada."
Tria mengangguk yakin dengan kesimpulan yang ia ciptakan sendiri, "kamu udah tidur sama dia?"
Wajahku memucat, "kamu ngomong apa sih?" aku menjauh darinya, "di mata kamu, aku ini bejat ya?"
Tria menarik pinggangku, berusaha menenangkan aku. "Maafin aku, Sayang," ia merunduk berusaha menciumku tapi aku menghindar, "maaf sudah tuduh kamu."
"..." aku merapatkan bibir dan membuang muka.
"Aku cuma nggak suka kamu akrab sama Pandji, Kaka, apalagi GM kamu itu."
Aku berpaling padanya dengan kedua mata melebar heran, "GM aku kenapa?"
"Dia suka sama kamu."
"Kenapa bawa - bawa bos aku sih?" tanyaku, "aku minta dinikahin tapi kamu menolak, terus sekarang kamu nuduh aku yang nggak – nggak. Dituduhinnya sama orang – orang yang nggak masuk akal lagi. Mana ada bos suka sama bawahannya? Malah bawa – bawa GM aku, mustahil di atas mustahil."
Bos - bosku juga punya standarnya sendiri—bukan berarti aku nggak masuk dalam standar mereka, bisa jadi aku di atas standar mereka.
"Feeling aku bilang, kalau nggak Pandji berarti Erlangga nih yang ada di kepala kamu."
Aku benar - benar marah sekarang, aku mendorong Tria sekuat tenaga lalu memungut jaket, hape, dan terakhir tasku.
"Capek, belum apa – apa udah dicurigain kayak gini."
Aku sedang berjalan ke arah pintu ketika Tria meremas pundakku dari belakang dan menarikku menjauh dari pintu.
"Sayang, ayo dong..." ia berusaha menekan emosinya tapi itu justru buat aku takut, "jujur aku takut banget kehilangan kamu lagi."
"..." aku tidak menjawab.
"Aku sayang sama kamu-"
Aku membuang muka bukan karena kesal tapi karena aku tak mampu berkata jujur pada Tria bahwa memang Erlangga sempat melintas dalam benakku tanpa kurencanakan.
"Oke, gini aja. Kamu resign dari kantor itu."
"Apa?" kalau ini aku nggak bisa diam, "resign?"
"Iya, kamu resign, kamu ikut kemana aku pindah, kamu tinggal sama aku."
Alarm peringatan di kepalaku menyala. Dejavu nih!
Aku berusaha melepaskan diri, "mending aku pulang deh."
Di saat yang tidak tepat hapeku berdering. Dengan lancang Tria merenggutnya dari tanganku lalu berjalan menjauh.
"Tria, jangan!" bisikku panik.
Dengan tangannya yang panjang ia menahanku tetap jauh dari hapeku sendiri, sudah seperti ibu dipisahkan dari anak kandungnya.
"Halo, Om, ini Tria..."
Aduh... badanku jadi lemes deh. Ngapain Papa ngomong sama Tria? Bisa nostalgia mereka.
Dari dulu Papa hanya cocok sama Tria, sudah dianggap anak sendiri malah. Imbasnya, semua cowok yang kukenalkan pada Papa ujung - ujungnya dibandingkan sama Tria. Udah paling sempurna aja dia di mata Papa sama Mama.
Aku baru duduk di sofa saat Tria selesai kangen – kangenan sama Papa. Dia mengembalikan hapeku dalam kondisi gelap, telepon sudah ditutup.
Segala pertengkaran kami terlupa begitu saja. Kulihat wajah Tria tegang, sorot matanya serius bercampur cemas. Dia kenapa ya?
"Papa ngomong apa sih?" tanyaku saat Tria dengan santai melepas celana pendek di hadapanku lalu menggantinya dengan celana jins.
"Yuk!" Dia berjalan mendahuluiku ke pintu, tapi kemudian dia berbalik tiba - tiba membuatku hampir ciuman lagi sama dia.
"Pakai baju yang bener bisa kan?" katanya sambil menyelipkan tali bra-ku ke balik kaos.
Sambil menahan malu kurapikan pakaianku lalu berjalan melewatinya keluar kamar.
Dia menjajariku dengan mudah, "kamu boleh pamer BH tapi kalau sedang sama aku aja."
"Yang mau pamer BH siapa sih?" bantahku kesal, model Victoria Secret juga bukan. "Kita mau kemana sih? Papa bilang apa?"
Butuh waktu dua detik untuk dia menjawab penasaranku, "Garda, udah hampir sebulan nggak pulang."
"Garda? Memangnya dia di mana? Kok kamu masih komunikasi sama sepupu aku?"
Tria melirikku dengan cara yang meremehkan, "pertemanan aku sama Garda nggak ada hubungannya sama kamu."
"Maksudnya? Yang sepupuan sama Garda kan aku."
"Ya pokoknya tanpa kamu kami baik - baik saja."
Ih, kok kesannya ada cinta segitiga gitu ya? Aku orang ketiga antara Tria dan Garda. Amit - amit!
"Dia nggak pulang kenapa tanyanya ke aku," aku menggerutuku pelan.
Tria mengernyit padaku seperti sedang menuduhkan sesuatu. "Kamu nggak tahu sepupu kamu itu kuliah di sini?"
"Ah, serius?" aku menggaruk pelipisku, "lebaran kemarin nggak ketemu jadinya nggak tahu."
Tria menggeleng pelan, "bisa peka nggak sih jadi cewek? Ditaksir bos sendiri nggak nyadar, bertahun – tahun sepupu kuliah di sini juga nggak tahu."
"Bukan gitu, kita emang jarang komunikasi. Dia juga nggak bilang kalau kuliah di sini jadi aku nggak tahu, emang aku orang tuanya yang harus tahu semua tentang dia."
"Parah!"
"Terus sekarang kita mau kemana?" tanyaku sebelum pintu lift tertutup di depan mata.
"Ke kosannya."
"Emang kamu tahu?"
"..." Tria hanya memutar matanya.
Jadi kujawab sendiri pertanyaanku, "ya pasti kamu tahulah, pake nanya lagi."
Tria melirikku dengan ekor matanya, sebentuk senyum miring terlihat di bibirnya. "Kamu tuh ya, kalau dicium marah – marah. Nggak dicium tapi bikin gemes. Kesel tahu nggak."
Aku mengulum senyum dan mendongak padanya, "emang kalau gemes bawaannya pengen cium gitu?"
Triamenekuk wajahnya, "pengen yang lebih, tapi nggak dikasih."

KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan (takut) CLBK
ЧиклитBagi Kumala Andini, move on dari seorang mantan terindah bernama Tria Hardy tidaklah mudah. Bahkan ketika sang mantan lebih memilih ta'aruf dengan gadis yang jauh lebih baik alih - alih menerima sinyal untuk balikan dari Kumala. Ia rela resign demi...