25

21.9K 2.1K 270
                                    

PART 25

COBAAN

Aku ingin rehat dari gangguan Erlangga. Kita memang beda kota dan beda kantor, tapi untuk dapat berpikir dengan tenang saja aku harus menyingkir hingga kerumah orang tua pada akhir pekan ini.

Semalam hape kumatikan karena Erlangga tidak berhenti menelepon. Hari Jumat kemarin aku sengaja pulang lebih awal dan segera pergi ke stasiun kereta api. Persetan dengan Pandji yang teriak - teriak di grup WA mencariku. Senin aja dijelasin yang penting sekarang pulang dulu.

Tanpa mengetuk pintu, Mama masuk ke kamar, menangkap basah aku sudah terjaga tapi masih terlentang malas di tengah ranjang.

"Perawan tuanya Mama..." ucap Mama dengan nada begitu riang. Biasanya nih ya kalau anaknya nggak laku - laku, yang namanya Ibu itu harusnya sedih. Kenapa ini biasa aja?

"Ma, Mala sedih tahu dibilang perawan tua."

Kedua alis Mama terangkat tinggi, "kenyataannya gimana?"

Perawanlah, Ma, secara harfiah dan secara istilah.

"Ya, gitu."

"Alhamdulillah..." Mama dengan santainya mengelus lenganku, "yuk, ikut Mama ke pasar, Mama kenalin ke anaknya juragan. Baru pulang dari Arab, ambil S2."

"Baru kelar S2, Ma? Jangan - jangan lebih muda dari Mala," kataku tanpa minat.

"Ya memangnya kenapa kalau lebih muda? Kanjeng Nabi saja menikah sama yang jauh lebih tua."

"Ya tapi anaknya juragan kan bukan Kanjeng Nabi, Ma."

"Kalau umur yang kamu permasalahkan, kamu bisa dapat bujang lapuk yang udah pensiun atau duda beranak banyak, emang mau?" kemudian Mama berkhayal dengan berpedoman pada sinetron stripping masa kini, "nanti anak pertamanya seumuran sama kamu, emang kamu nggak geli?"

Aku menahan napas dan dengan hati – hati mengatakan, "kalau dudanya masih muda dan nggak punya anak, gimana, Ma?"

Mama tampak berpikir sesaat, tapi berpikirnya dengan wajah ditekuk masam yang membuatku bisa menebak jawaban Mama.

"Kalau masih ada yang lain kenapa harus duda, Mal?"

"Ya, kan 'kalau,' Ma." Duh, Baru denger soal duda aja sudah defens gini si Mama.

Mama mengibaskan telapak tangannya, "aduh, berandai - andai yang bagus gitu lho. Kamu tahu nggak, Mal, menikah sama duda itu complicated. Pertama-"

"Pasti ada yang Kedua nih," selaku usil.

"Ish, dengerin," Mama menggeram kemudian melanjutkan, "Pertama, seseorang menjadi duda itu pasti ada alasannya, kalau cerai hidup sudah pasti masa lalu rumah tangga orang itu bermasalah, nggak bisa kita bilang siapa yang salah, pasti dua - duanya salah, kamu mau sama pria bermasalah? Itu belum urusan kewajiban yang harus dia penuhi kalau dia punya anak lho ya."

"..." Erlangga nggak punya anak sih, Ma.

"Kalau cerai mati, kamu saingannya sama orang yang sudah nggak ada lho, Mal. Bohong kalau si duda bilang dia sudah nggak cinta mendiang istrinya. Kanjeng Nabi masih cinta sama mendiang Khadijah walau sudah ada Aisyah. Cinta sejati, Mal. Kamu bukan Aisyah yang kuat menerima bayang - bayang Khadijah sepanjang rumah tangga kamu."

Tadi bandingin anaknya juragan sama Kanjeng Nabi, giliran aku nggak boleh dibandingin sama Aisyah. Hm...

Melihatku diam, Mama tiba - tiba melirik curiga padaku.

"Duda!" telunjuk Mama menuding tepat di depan hidungku, "kamu pacaran sama duda, Mal?"

"Iya, eh bukan, Ma. Maksudya, aku dilamar."

Jangan (takut) CLBKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang