18

24.6K 2.5K 333
                                    

PART 18

PERSIMPANGAN

"...selama kamu cuti ada beberapa berkas yang seharusnya sudah masuk. Saya rasa kamu bisa memenuhi semua itu hari ini. Kita harus gerak cepat karena akhir bulannya dimajukan."

"Baik, Pak. Berkasnya saya antarkan kalau sudah lengkap."

"Saya maunya hari ini lengkap, no excuses."

"Saya usahakan, Pak." Jawabku lagi sambil berpikir bagaimana caranya memenuhi tuntutan itu.

"Ris!" Ia memanggilku dengan nada yang tidak terlalu kaku seperti tadi.

Aku menghela napas dan memutar bola mataku. Riska lagi. Kumat isengnya nih Big Boss.

"Kumala, Pak." Koreksiku dengan sabar.

"Jangan lupa makan, saya nggak mau kamu masuk rumah sakit lagi." Pesannya dengan nada yang sudah berubah menjadi lebih hangat mengirimkan getaran aneh pada tubuhku dan mengusik Nagini dalam perutku.

Kemudian bibirku membentuk senyum laknat, udah kayak ABG kasmaran lewat telepon umum tahu nggak. Anak jaman sekarang mana tahu.

"Yah, tergantung Big Boss saya sih. Kamu bilang gih sama GM saya, jadi orang jangan judes biar anak buahnya nggak takut."

Aku mendengar dia terkekeh pelan, "saya itu nggak judes, cuma tegas. Kamu nggak takut kan sama saya?"

Takut. Takut banget, Ga! Dulu kamu itu killer, mata pencaharian anak marketing ada di ujung pulpen kamu. Sekarang kamu lover, galaunya aku tergantung sama kamu. Tuh kan, lebaynya kumat si Kumal. Inget umur woy!

Aku menjawab ragu - ragu, "saya masih takut, Pak."

Kudengar ia menghela napas, "kayanya bakal susah nih. Makanya lengkapi berkasnya sebelum jam tiga sore terus bawa kesini, harus saya periksa dulu sebelum saya acc." Katanya, lalu ia menambahkan, "Sekalian kamunya saya periksa."

Aduh... Pengen ngumpet di bawah meja terus jejeritan. Demi apa coba GM aku gombal pagi - pagi. Untung aja belum jam masuk kerja jadi belum banyak yang datang. Kalau nggak sudah dikira phone sex sama anak – anak.

Aku menarik napas, bingung gimana caranya mengakhiri sambungan telepon nggak profesional ini. "Jangan lupa makan," kataku dengan cepat lalu kutekan tombol merah sebelum dia sempat membalas. Duh, lega rasanya. Erlangga pagi - pagi bikin orang sakit jantung ya.

Efeknya kerja jadi semangat gitu. Aku jadi termotivasi memburu berkas ke pihak debitur, gimana pun caranya harus lengkap sebelum jam tiga. Dulu mau ketemu GM aja rasanya seperti pertaruhan hidup dan mati. Kalau sekarang mau ketemu GM rasanya seperti pertaruhan hati.

"Sehat, Mal?" Gitu banget nyapanya? Pandji mampir sebentar di kubikelku. "Sejak sakit, lo ninggalin banyak banget PR buat gue. Kita saling bantu, oke? Gue tahu GM nggak bakal tega marahin lo, jadi kemungkinan semua kemarahannya bakal dilimpahin ke gue atau Djena, dan kalo itu terjadi kemarahan itu bakal gue balikin ke lo, ngerti? Jadi kerja yang bener, nggak usah keluyuran."

"Tapi Pak GM minta saya lengkapi berkas, Pak." Ujarku dengan nada menyesal.

"Lo itu under gue, jadi lo harus nurut sama gue. Kalo gue bilang bantuin itu juga demi kesejahteraan lo sendiri."

Aku mengangguk mantap, "baik, Pak!"

Kuperhatikan Pandji berjalan dengan tegas ke ruangannya sendiri bahkan dia lupa menyapa Wilda. Welcome to the hell, situasi dimana para banker dihadapkan dengan situasi akhir bulan plus menjelang akhir tahun. Siap - siap nggak pulang aja deh.

Jangan (takut) CLBKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang