14

23.7K 2.7K 457
                                    

PART 14

Pandji Sakit

Lampu depan rumah Pandji belum dinyalakan saat aku datang. Alasannya hanya dua, Pandji lupa menyalakan lampu karena ketiduran atau Pandji memang sudah tidak sadarkan diri karena demam.

Aku langsung berkeringat dingin memikirkan kemungkinan kedua. Aku segera mengetuk pintu dan ketika tidak ada jawaban aku pun mengetuk lebih keras sambil memanggil namanya dengan nada agak panik.

Apa panggil pak RT aja ya? Tapi pak RT-nya Pandji yang mana? Aku kembali mengetuk pintu dengan tak beraturan.

Pintu terbuka. Pandji yang berantakan menatapku dengan sorot mata kesal.

"Lo ngerti nggak sih adab bertamu ke rumah orang? Ketuk tiga kali, cukup!"

Aku mengabaikannya, memperhatikan kondisi Pandji. "Bapak sudah sehat?"

Pandji pun tersadar, "oh iya, gue sakit. Tutup pintunya, Ris."

Aku berdecak, "kenapa ikut - ikutan panggil itu sih?" protesku sambil menutup pintu dari dalam.

"Biar kaya anak - anak aja," jawabnya sambil duduk meringkuk melipat kaki di atas sofa.

"Sudah makan?"

"Gue harus pastiin lo bawa obat, baru gue pesan di Go-food."

"Ini parasetamol, Pak. Tapi nggak ada yang rasanya manis kecuali untuk umur 0 - 12 tahun."

Pandji geleng - geleng kayak orang sakau, "gue nggak mau tahu, Mal. Pokoknya tuh obat harus manis, hati gue masih bisa menolerir pahit tapi lidah gue nggak."

Aku tersenyum malas, "Bapak masih bisa ngelawak juga ya. Ya udah, saya kasih madu aja," aku mengedarkan pandangan, "punya madu?"

"Madu perkasa bisa nggak?" tanya Pandji serius. Kalau kuamati Pandji bukan sedang bercanda tapi tetap saja kok bikin kesel ya? Duh, kalau aja dia bukan bosku sudah kutinggal pulang. Madu perkasa kan buat vitalitas, yang ada dia tambah membara.

"Kalau gula pasir punya?"

Dia mengangguk, "gula batu juga ada."

"Pasir, batu, semen, kita bangun rumah sekalian ya, Pak." gurauku tapi aslinya kesel.

Tapi dia masih bisa menanggapi dengan anggukan, "boleh. Kita bangun rumah tangga berdua."

Lantas kami hanya diam saling memandang. Pikiranku mulai menelisik isi kepala orang demam yang mungkin sedang mengigau ini. Lalu kuletakan tanganku di keningnya dan ia berjingkat sadar.

"Tangan lo kok dingin banget?"

"Biasa aja, Pak Pandji yang badannya panas."

Dia langsung menolak tegas, "gue biasa aja. Lo yang badannya dingin."

Aku menghela napas dan mencoba memberikan pengertian padanya seperti memberi pengertian pada anak lima tahun.

"Bapak tahu nggak? Negara api nggak akan menyerang jadi nggak usah ditunggu, lebih baik kita berhenti berdebat yang nggak perlu. Kebetulan saya bawa soto ayam, tadinya saya mau numpang makan. Tapi berhubung bapak nggak punya apa - apa jadi sotonya kita bagi dua. Saya masak nasi dulu, bapak di sini tiduran. Dan yang paling penting jangan ngomong ya, Pak."

Bukannya patuh, Raden Pandji malah tertawa terbahak - bahak sambil memegang perut.

"Kenapa ketawa?"

Dia menyeka sudut matanya, "gue barusan bayangin kalo punya istri macam lo, bisa awet muda gue. Ya ampun, Mal, lo nggak pengen banting setir jadi pelawak aja gitu?"

Jangan (takut) CLBKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang