1

39K 4K 193
                                    

PART 1

OUR BIG BOSS!

"Saya Kumala, AO cabang Marthadinata," seperti orang lugu, aku memperkenalkan diri saat masih berdiri di ambang pintu. Antisipasi diusir aja sih.

"Ya udah masuk. Tutup pintunya, nanti AC-nya nggak kerasa." Ia mengulang perintahnya sebelum duduk.

Well, ini dia bahan gosip hampir di seluruh kantor cabang regional empat. Ternyata aslinya memang ganteng, yah... pasrah menerima jodoh bukan berarti aku nggak bisa bedakan mana orang ganteng mana bukan. Ternyata gosip di antara karyawati nggak melebih – lebihkan kecuali soal perut. Haha! Perutnya offside sedikit.

Sadar, Mal. Kamu datang bukan untuk menilai penampilannya. Orang yang seperti ini sudah pasti pasangannya yang setara. Karena Indonesia bukan rumahnya Cinderella.

Fyi, pria di hadapanku ini adalah seorang duda tanpa anak yang kebetulan dianugerahi wajah tampan dan dada bidang, overall dia hot. Bisa dibilang tingkat ketampanannya sebanding dengan jabatannya, tapi ketusnya terkenal setingkat lebih tinggi dari segala hal positif yang ia miliki.

Sampai detik ini aku masih penasaran alasan dia bercerai, karena selain berpenampilan sempurna dan memiliki karir cemerlang, atasanku ini tajir turunan. Masa karena ketus doang mereka cerai?

Tidak setajir Nick Young di Crazy Rich Asians juga. Rumahnya memang berada di kawasan elit tapi anehnya bukan yang termewah, mobilnya juga hanya Pajero. Dia irit, apa pelit?

"Jadi gimana?"

Asyik! Dia lupa soal janji temu kita. Aku tahu waktunya sangat berharga, aku juga pengen cepat – cepat pergi kok, jadi kita cocok dalam hal ini.

Aku segera menyodorkan berkas yang harus dia periksa dan syukur – syukur disetujui sehingga aku tidak perlu menemuinya lagi dalam waktu dekat.

"Saya mau minta tanda tangan untuk ini, Pak."

Erlangga membaca nama perusahaan yang hendak kami biayai, "ini debiturnya si itu ya? Yang cuti hamil..."

"Aline, Pak. Crystaline."

"Iya, Crystaline. Kamu alternate dia ya?" tanya Erlangga sambil mencermati tulisan di hadapannya.

"Iya, Pak."

Setelah itu ia membalik setiap lembarnya, mengabaikan berkas pendukung yang susah payah kuperbaharui.

"Kita belum pernah ketemu ya?"

"Kalau menghadap langsung baru ini, Pak. Biasanya saya rame - rame sama timnya Mas Djenaka."

Masih sambil memeriksa dengan alis bertaut, pulpen di tangan lancar membuat tanda silang, nadanya ringan saat bertanya, "gimana kerja under Pandji? Enak?"

Langsung kusahut dengan semangat 45, "enak banget, Pak!"

Dia mendongak cepat menatapku lekat – lekat saat akan membuat satu coretan lagi, pulpennya turut diam di atas kertas.

Aku salah ngomong ya? Kok kayak shock gitu?

Tatapannya berubah seolah sedang menilaiku luar dalam. Yang dinilai apanya nih, Pak? Kerja sama Pandji memang asyik.

Akhirnya kulihat kedua alisnya terangkat, pandangannya kembali ke atas kertas, dan ia mengangguk. Nah, dia buat kesimpulan apa tuh, kok angguk – angguk?

Tidak butuh waktu lama proposal yang sudah kulengkapi selama berhari – hari berubah tak terbaca. Setiap goresannya menyakitkan bagiku.

Kemudian ia melemparkan berkas itu ke atas meja di antara kami, "payah!" katanya.

Aku tercengang melihat hamparan kertas di atas meja, sebagian hampir jatuh ke lantai tapi buru – buru kutangkap. Nah, sepertinya gosip di kalangan karyawan pria akan segera terbukti. Kemurkaan Erlangga Putra.

Ia menuding dengan pulpennya ke arah kertas di atas meja, "ini sampah. Jangan sampai kamu bawa yang begini lagi ke meja saya."

Aku tak berani membalas tatapan mencelanya, "baik, Pak!"

"Besok saya tunggu di sini dengan proposal yang sudah beres."

Aku bisa apa selain patuh, "siap, Pak!"

"Siap! Siap!" ia menirukanku, "kenapa nggak bawa proposal yang sudah beres?"

"Sebenarnya ini pekerjaan Crystaline, Pak, saya hanya meneruskan saja. Saya tidak tahu kalau pekerjaannya berantakan."

Ia memicingkan matanya menatapku beberapa detik, kemudian ia bertanya, "siapa nama kamu?"

Dia lupa 'kan? Tega bener, tadi saya udah perkenalkan diri lho.

"Kumala, Pak."

Kemudian ia menyandarkan punggungnya ke belakang, terlihat santai tapi mengintimidasiku, tatapannya tetap skeptis kepadaku, ibu jari dan telunjuknya saling menggesek seolah ingin menciptakan api untuk membakarku hidup – hidup.

"Kamu itu seharusnya ketemu dengan saya kemarin, 'kan?"

Lah! Dia ingat. Kenalan belum ada sejam dia lupa, janji berhari – hari yang lalu dia ingat. Orang ini sentimen sama aku kali ya?

"Em... itu-, Pak, kemarin tiba – tiba asam lambung saya kumat jadi nggak bisa masuk kerja," punggung mulai berkeringat saat bibir ini berdusta, "sa-, saya sudah minta ijin sama SDM tapi karena terlalu mendadak ya tidak disetujui." Kuakhiri kebohongan itu dengan senyum hambar. Berhasil kan?

Perlahan kerutan di antara alis Erlangga sedikit memudar, "sekarang sudah sembuh sakitnya?"

Senyumku semakin cerah karena perhatian kecilnya, "sudah kok, Pak, asam lambung saya kalau kumat memang seharian penuh tapi besoknya langsung mendingan."

Ia mengangguk dengan tatapan masih tidak lepas dariku, "dijaga ya kesehatannya-" ia menyarankan, kemudian tubuhnya bergerak condong ke tengah meja dan berbisik, "...supaya bisa ikut SKD tahun depan."

Aku terkesiap. Mata mengerjap, senyumku lenyap. Game Over, Kumal!

"Gimana, Pak?"

Dia kembali bersandar, menatapku dengan cara merendahkan itu lagi, "memangnya nilai tes CPNS kamu kurang berapa poin?"

Astaga!Orang ini tahu darimana, Ya Allah?

Jangan (takut) CLBKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang