Hadiah (2)

1K 132 34
                                    

"Nabila!"

Nabila yang hendak lekas beralih dari Sanha, terpaksa membalikkan badannya. Ingin dia tak peduli, tapi bisa-bisa dia dikira budek oleh Sanha. Akhirnya, dia terpaksa menyahut panggilan Oppa Korea itu.

"I-I-Iya?" Tanpa ia sadari ternyata ucapannya tergagap.

"Errrr ... kamu tahu kantor polisi?" tanya Sanha dengan wajah serius.

Aman ....

Sepertinya Sanha sudah melupakan kejadian tadi pagi, pikir Nabila.

"Ya tau, lah! Kantor polisi itu tempat untuk menyelesaikan masalah," jawab Nabila dengan penuh percaya diri.

"Errr ... maksudku ... apa kamu tahu alamat kantor polisi?"

Nabila terdiam sejenak. Pertanyaan Sanha sedang loading di otaknya. Matanya pun dengan sigap melihat ke arah gadis kecil yang kini sudah turun dari gendongan Sanha.

"O-Oohhh ... lo mau ke kantor polisi?"

Maklum, kalau ada masalah Nabila jadi rada-rada sengklek. Kadang terlalu polos, kadang juga gak nyambung.

"Iya," laki-laki dengan wajah babyface itu mengiyakan.

"Kalo gitu, ayo ikut gue."

***

Beberapa menit telah berlalu. Sanha dan Nabila sudah duduk di kantor polisi. Mereka menghadap polisi yang sedang bertugas saat itu. Polisi yang akan mendengarkan keluhan warganya.

Sementara itu, gadis kecil yang dibawa Sanha, kini tengah duduk di antara mereka berdua. Pemandangan itu terlihat seperti keluarga kecil yang bahagia.

"Selamat siang!"

Sebagai formalitas, pak polisi, Sanha dan Nabila saling mengucap salam. Beberapa pertanyaan dan pernyataan telah terlontar setelah salam tersebut.

Sanha menjelaskan apa yang terjadi dengannya dan gadis kecil itu. Tapi, Pak Polisi sepertinya menemukan sesuatu yang janggal. Hal itu membuatnya kembali bertanya.

"Apa Anda sudah bertanya pada anak ini?" tanya Pak Polisi pada Sanha.

"Bertanya?" Orang yang ditanya itu malah balik nanya.

"Ya. Apakah anak ini tersesat, ditinggal orang tuanya, atau bahkan dia tidak tersesat?"

"Maaf, saya pikir dia masih belum bisa bicara," jawab Sanha sambil menundukkan kepalanya merasa bersalah.

"Lalu, kenapa Anda memutuskan membawanya kemari?"

"Waktu itu dia menangis. Lalu saya ... saya ... saya bopong dia. Setelahnya dia langsung diam."

"Bopong?" Pak Polisi mengerutkan dahinya.

Sementara itu, Nabila memutar matanya jengah. Lagi-lagi Sanha berbicara tidak nyambung. Pada akhirnya dialah yang harus meluruskan kesalahpahaman itu.

"Maaf, Pak. Maksud teman saya, dia menggendongnya," jelas Nabila.

"Kedondong? Aku bukan kedondong?!"

Ingin rasanya Nabila menjitak kepala Sanha. Jika saja tidak berada di kantor polisi, tentu ia tak perlu mengurungkan niatnya tersebut. Pak polisi pun akhirnya makin mengerutkan dahinya, bingung karena obrolan mereka makin gak nyambung.

"Kayra!"

Seorang wanita paruh baya masuk menerobos. Dengan cepat ia memeluk anaknya yang sedang duduk di antara Sanha dan Nabila. Anak itu pun membalas pelukan ibunya.

"Kamu kenapa bisa di sini, Kay? Ibu bingung nyariin kamu kemana-mana!"

Ibu dan anak itu bertingkah seolah-olah berada di rumah sendiri. Kehadiran para polisi di tempat itu seolah-olah hanyalah seonggok semut di lantai.

"Kayla dibawa sama babang ganteng," sang anak yang ditanya itu pun menjawab.

"HAH?"

Sanha dan Nabila serentak terbelalak. Mereka pikir anak itu masih belum bisa bicara. Kenapa anak itu dari tadi hanya diam? Hal itulah yang membuat mereka jadi sedikit kesal.

Wanita itu lalu menoleh ke arah Sanha. Beberapa detik kemudian, akhirnya dia tersadar dengan keadaan sekitarnya. Dia langsung menegakkan badannya yang tadinya berjongkok memegang pundak putrinya.

"KENAPA KAMU MEMBAWA ANAK SAYA, HAH? APA KAMU MAU MENJUALNYA?!"

Pertanyaan itu langsung mengubah suasana yang sebelumnya absurd, menjadi tegang. Semua mata tertuju pada Sanha yang masih memasang muka tak bersalahnya.

"Saya pikir mungkin dia ... tersesat?"

Aura The Power of Emak-Emak yang memancar dari mata melotot wanita itu membuat Sanha mulai takut.

"Tersesat ndasmu! Wong rumahnya juga cuman lima langkah doang, kok! Udah tiap hari bolak-balik gak pernah, tuh yang namanya TERSESAT! Mau pake alasan apa lagi kamu? HAH? Muka aja ganteng tapi kelakuannya β@***@7, @|\|7?**[SENSOR]!!!"

***

Setelah menjelaskan panjang kali lebar, Sanha akhirnya bisa keluar dari kantor polisi dengan damai. Kini dia dan Nabila sedang berdiri di dekat Alfam*rt seperti sebelumnya.

"Nabila ...."

Nabila yang dipanggil langsung menengok.

Dia mau ngomong apa, nih? Bukan yang ''itu'' kan?

"Nabila?" Melihat Nabila yang hanya diam menatapnya, membuat Sanha memanggil gadis itu lagi.

"Y-ya?"

Sanha mengalihkan pandangannya menuju kantong jaketnya. Dia mengeluarkan sesuatu yang nampak seperti sebuah botol kecil. Lalu diberikannya botol itu pada Nabila.

"Tauco?" Setelah mengambil botol kecil itu, Nabila membaca tulisan yang tertera di kemasannya.

"Itu hadiah untukmu. Kamu menginginkannya, kan?"

"Hah? Kapan? Perasaan gak ada, tuh?"

Nabila berusaha mengingat semua yang ia ucapkan di sekolah pada Sanha tadi pagi. Namun, sekeras apapun dia memikirkannya, tetap saja tidak ada memori ''tauco'' yang tersimpan di otaknya.

"Emm ... itu, waktu tadi pagi ketika aku—"

"Oh! Yang itu! Yaudah makasih, ya! Kalo gitu aku pergi dulu, dah!"

Nabila buru-buru meninggalkan Sanha. Dia tidak mau membicarakan pernyataan Sanha tadi pagi. Karena itulah dia terpaksa mengiyakan meskipun sebenarnya dia tidak pernah bilang kalau dia menginginkan tauco.

Dia kenapa? Padahal aku ingin bilang untuk melupakan apa yang kukatakan tadi pagi.

Akhirnya, Sanha memutuskan untuk kembali ke tempat tinggalnya. Namun, tiba-tiba dia tersenyum mencurigakan.

Jadi, rumahnya ada di sekitar sini?











To be continued . . .




1 Year With My Cutie Boy || Sanha ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang