Kecelakaan

613 71 2
                                    

Flashback On

⏭ ️⏭ ️⏭️

Seorang pria paruh baya itu sedang asik menelepon sambil menyetir. Dia tidak khawatir akan celaka. Dia tetap menyetir dengan kecepatan tinggi meski konsentrasinya saat ini sedang terbagi.

"Nabila ... tunggu sebentar lagi ya, Nak. Ayah akan segera pulang dan bawa boneka seperti yang Nabila mau," ucap laki-laki itu sambil menempelkan ponsel di telinganya.

"Gak mau! Nabila kangen Ayah! Pokoknya Ayah harus cepat pulang!" Gadis kecil itu terus merengek dari seberang telepon. Meskipun ayahnya tak mengaktifkan speaker, namun suaranya tetap terdengar.

"Iya-iya ... Ayah udah ngebut, nih. Bentar lagi Ayah samp—"

Ckittttttttttt

Sebuah mobil berwarna hitam melaju dengan kencang tepat di hadapan laki-laki itu. Dia mengerem mobilnya dengan tiba-tiba. Akan tetapi, mobil hitam itu tak berhenti sedikit pun.

Brakkkk

***

Di sebuah ruangan yang berbau obat-obatan itu, terdengar bunyi isakkan seorang anak kecil. Dia sedang menatap ayahnya yang terbaring tanpa nyawa, tentu saja dia sangat sedih.

"Hiks ... hikss ... Ayah ... bangun, Ayah. Maafin Nabila, Ayah ... huhu ...." Gadis kecil itu tak henti-hentinya menangis. Semakin lama semakin menjadi.

Sementara itu, perempuan yang merupakan ibu dari gadis itu menatap anaknya dengan tajam. Sambil menggendong seorang anak kecil di tangannya, wanita itu berkata, "Nabila! Sekarang puas kamu? Ayah kamu sampai meninggal gara-gara kamu keras kepala! Apa lagi yang akan kamu perbuat, hah?! Setelah tidak mau sekolah, melawan orang tua, sekarang kamu membunuh ayahmu?! Bagaimana bisa Ibu melahirkan anak sepertimu?!"

"I-ibu ... maafin Nabila. Huhu ... Nabila janji bakal sekolah. Nabila janji gak bakal nakal lagi ... hiks ... hikss ...."

"Setelah dua tahun kamu baru mau sekolah?! Kamu mau jadi apa??!!"

"Huhuuu ... Nabila mau jadi anak baik. Nabila janji, Ibu ... Nabila gak bakal nakal lagi. Nabila gak bakal berantem lagi. Huhu ... Nabila gak bakal bikin Ibu malu lagi ... hiksss ...."

"Sudah! Jangan menangis. Nanti dokter memarahimu." Wanita itu menepuk-nepuk bahu anaknya, bermaksud untuk menenangkannya. Tak tega juga dia melihat anaknya menangis sesenggukan. Bagaimana pun, gadis nakal itu adalah anaknya.

***

Setelah kepergian ayahnya, Nabila akhirnya mau bersekolah. Nabila yang awalnya selalu nakal dan berulah, kini menjadi anak yang paling pendiam di kelasnya.

Seperti hari-hari sebelumnya, Ningsih mengantar Nabila ke sekolahnya, sambil menggendong putri bungsunya—Syifa.

"Cepat masuk!"

"Iya, Ibu." Nabila bergegas cepat memasuki kelasnya. Dengan raut takutnya. Dia tak ingin melihat ibunya marah.

Setelah Nabila memasuki kelasnya, seorang wanita menghampiri Ningsih. Wanita itu berwajah mirip dengannya.

"Ningsih. Jangan terlalu keras dengan Nabila. Bagaimanapun dia adalah putrimu," ucap wanita itu.

"K-kakak?" Ningsih menatap wanita yang ternyata adalah kakaknya.

"Bukan salah anak itu kalau ayahnya meninggal. Kematian sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa."

"Aku tau, Kak. Tapi kelakuannya selalu membuatku marah. Aku juga tidak tega memikirkan nasib adiknya. Dan juga ... bagaimana caranya aku menghidupi mereka berdua?"

"Ningsih ... dia hanya anak-anak. Kalau hasil menjahit itu tak cukup, minta saja bantuanku. Aku pasti akan membantu."

"Hhh ... sebenarnya aku tak mau merepotkan."

Wanita itu menarik bahu Ningsih. Dia mendaratkan pelukan pada adiknya. Dia sedang berusaha menenangkan kegundahan seorang ibu saat ini.

⏮️ ⏮️ ⏮️

Flashback off

***

"Woy, Nabila! Kenapa lo bisa sampe masuk BK? Lo ada masalah apa sama Yuvi?" Sinka langsung menghampiri Nabila yang baru sampai di kursinya.

"Udah, ah. Males gue ngebahas nenek lampir." Nabila menelungkupkan wajahnya di mejanya.

"Lah .... " Sinka memutar pandangannya ke depan. "Sanha! Jelasin, dong! Sebenernya ada apa, sih? Gue gak tau apa-apa, nih. Jahat banget, deh kalian!" Sinka menghampiri Sanha. Dia merasa kesal karena hanya dia yang tak tahu apa-apa. Bagaimana bisa dia sebagai sahabat hanya diam saja.

"Sinka! Ssstttt! Sini gue jelasin!" Ferdi menarik Sinka yang berkoar-koar tak jelas. Sebagai ketua kelas, sudah kewajibannya untuk menjaga keamanan dan kedamaian kelasnya.

Ferdi membawa Sinka menjauh dari Sanha dan juga Nabila. Setelah dirasa sudah aman, akhirnya Ferdi menjelaskan apa yang terjadi.

"WHAT??!! WHAT IN THE NANI??!! KOK BR*NGS*K BANGET, YA??!! HERGGGGHHH! GEMES GUE! PENGEN GUE $#?SENSOR?$# !!!!"

"Ssstttt!!! Lu sabar dikit napa?!"

"Ih! Gue sebel banget tau gak?! Kalo aja gue ada di sana, badan teposnya itu pasti udah abis gue banting! Mukanya pasti udah gue remes-remes jadi remah rengginang!!!" Sinka masih belum bisa meredakan emosinya. Ferdi pun menjadi kebingungan menenangkannya.

"Kok ada, sih cewek gak tau malu keganjenan kayak dia?! Ihhh!!! Sebel sebel sebel!!!"

Nih anak kok gak bisa sabaran, ya? Perasaan Nabila, deh yang jadi korbannya. Kenapa dia yang paling berisik coba?!

Ferdi sudah lelah membujuk Sinka. Kini dia hanya bisa mendengarkan ocehan dan makian yang diucapkan Sinka. Menurutnya, cewek yang marah sebaiknya didiamkan saja. Kalau tidak, para cowoklah yang akan dijadikan kambing hitamnya.

"Eh, Fer. Lo liat, deh di sana! Itu ... nyokapnya Nabila, kan?" Sinka tiba-tiba berhenti mengoceh. Kini dia menunjuk ke arah belakang Ferdi.

Karena penasaran, Ferdi membalikkan badannya. Dia memutar pandangannya mengikuti arah telunjuk Sinka. "Eh? Iya, itu Tante Ningsih. Tapi ... laki-laki itu siapa?"

Ferdi dan Sinka memerhatikan laki-laki yang sedang berbincang dengan Ningsih. Mereka nampaknya sedang membicarakan sesuatu yang serius.

"Fer, ke sana, yuk!"

"Hah? Ngapain?! Jangan bilang lo mau nguping?!"

"Udah ... cepetan! Mukanya kayak orang Korea gitu. Gue curiga itu bokapnya Sanha."

"What??!!"






To be continued . . .







1 Year With My Cutie Boy || Sanha ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang