Rencana

580 74 3
                                    

"Sanha!" Seorang gadis memanggil Sanha. Dia menunjukkan wujudnya di samping pintu kelas XI IPA 1.

Gadis yang duduk di kursi nomor dua dari samping pojok belakang menggertakkan giginya. Dia menjadi emosi ketika melihat wajah gadis mungil itu.

Dasar nenek lampir! Ngapain dia ke sini, sih?! Pake manggil-manggil Sanha lagi! Ishhh!

Karena merasa kesal sekaligus cemburu, Nabila malah mengambil tindakan yang kurang tepat.

"Levi, lo mau gak ke kantin nemenin gue?" Nabila berucap dengan suara yang agak keras, tujuannya agar terdengar oleh Sanha.

Levi yang memang menantikan waktu-waktu bersama Nabila, tentu saja menerimanya dengan senang hati. Namun, dia juga merasa ada yang aneh. Saat itu, kan Nabila sudah menolaknya.

"S-sure."

Nabila pun pergi bersama Levi sambil tersenyum girang. Semua orang yang berada di kelas itu menatap mereka dengan heran. Sinka, Ferdi, bahkan Sanha.

Apa mereka sudah jadian?

Sanha hanya bisa terdiam menyaksikan gadis pujaannya tersenyum bahagia karena laki-laki lain. Mau bagaimana lagi, sepertinya cinta pertamanya bertepuk sebelah tangan. Sanha merasa sedih, hatinya begitu sakit saat ini.

Ketika melihat Nabila dan Levi yang keluar melalui pintu, akhirnya gadis mungil—yang memanggilnya—itu dapat terlihat lagi olehnya.

"Yuvi? Ada apa?" tanya Sanha pada Yuvi sambil bergegas menghampirinya.

"Sanha, kamu bisa gak ngajari aku fisika lagi kayak kemaren?" jawab gadis itu malu-malu. Tidak salah jika dia termasuk dalam deretan gadis imut di sekolah tersebut. Walaupun terkadang juga menyeramkan.

Untuk menenangkan hatinya, sepertinya Sanha tak punya pilihan lain selain mengajari Yuvi. Mau tak mau dia menerimanya.

"Ya. Tentu saja, Yuvi."

***

Sanha dan Yuvi kini sedang berjalan di koridor sekolah. Mereka akan pergi ke perpustakaan sekolah seperti sebelumnya—ketika dia dan Nabila bertengkar.

Di sepanjang perjalanan itu, hanya ada keheningan di antara mereka berdua. Sanha sedang asik dengan pikirannya sendiri. Sedangkan Yuvi, dia kehabisan topik untuk dibicarakan dengan Sanha. Dia memang anak yang pendiam, sangat jarang berkata-kata. Di tambah lagi, Sanha adalah orang yang disukainya. Tentu saja dia menjadi semakin pendiam.

"Sanha, apa ... yang kamu sukai dari Nabila?" Tiba-tiba saja kalimat itu terucap dari mulut Yuvi. Bahkan, dia sendiri pun menyesal telah memancing topik yang sebenarnya bertemakan Nabila—gadis yang membuatnya iri.

"Eh, kenapa tiba-tiba ...."

"Aku cuma pengen tau aja, kok. Gak boleh, ya?"

"Emmm ... aku ... juga tidak tahu pasti. Tapi aku mengatakan pada hyeong-ku kalau aku menyukainya karena gigi gingsulnya. Padahal ... bukan itu alasan yang sebenarnya." Sanha menjawab dengan malu-malu.

"Hahaha ... kamu ada-ada aja, Sanha!" Yuvi tertawa keras. "Kalau bukan itu ... lalu karena apa?"

"Entahlah. Aku juga tidak begitu mengerti apa yang membuatku memyukainya. Tapi ... entah kenapa setelah menatap wajahnya lekat-lekat, rasanya tidak begitu asing. Sepertinya aku pernah bertemu Nabila sebelum aku bertemu dengannya di sekolah ini."

"Apa???"

***

Hari ini, Sanha berniat pulang bersama Ferdi. Rumahnya saat ini benar-benar sepi. Hanya ada dia sendirian di sana. Meskipun ayahnya ada di Indonesia, tapi pria itu hanya sesekali menjenguknya. Yoon Jinhyuk tidak selalu menetap di suatu daerah. Sebagai CMO banyak sekali yang harus dia selesaikan. Belum lagi kasus pembunuhan Lee Donghae.

Sanha berencana membawa Ferdi bermain game. Selama di Indonesia, sudah lama sekali dia tidak melakukannya. Sebagai gamer, tentu saja Sanha merindukan saat-saat menyenangkan bermain game.

Akan tetapi, bukan hanya itu tujuan Sanha mengajak Ferdi. Dia sebenarnya ingin mengatakan sesuatu. Dia berharap Ferdi bisa membantunya menyembuhkan kegelisahannya.

"Ferdi, setelah bermain game, apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanya Sanha di tengah perjalanan. Mereka menaiki mobil yang disetir oleh sopir pribadi Sanha.

"Apaan? Ngomong sekarang aja," jawab Ferdi dengan santai.

Sanha tak menjawab ucapan Ferdi. Dia justru mengerucutkan bibirnya, lalu mengarahkannya ke arah sopirnya. Dia bermaksud menunjuk sopir itu dengan bibirnya. Sebenarnya itu adalah kode, bahwa dia tak mau membicarakan hal itu di sini karena ada Pak Sopir.

"Hahaha ... lo apaan sih, San? Lo malah bikin gue gemes tau gak?! Hahaha ...." Ferdi malah tertawa keras.

"Berhentilah tertawa!"

"Hahaha ..."

***

Sesampainya di rumah Sanha, Ferdi terpukau ketika pertama kali memasukinya. Keluarga Sanha memang kaya raya. Hingga asrama semewah itu pun bisa dibeli dengan mudah.

"Sanha, lo anak konglomerat, ya?" tanya Ferdi iseng.

"Konglomerat? Apa itu?" Sanha belum pernah mendengar kata konglomerat sebelumnya.

"Errr ... apa, ya? Itu kayak semacam ... keturunan orang kaya gitu, deh."

"Hmm ... begitu, ya. Sepertinya aku memang anak konglomerat." Sanha menjawab dengan polosnya, membuat Ferdi merasa seperti secuil upil kuda nil.

"Sultan, mah bebas ...."

"Sultan? Siapa?"

Ferdi mendengus kesal. Sejak tadi Sanha terus bertanya-tanya seperti anak kecil yang baru bisa bicara.

"Au ah, gelap."

Sanha terus merenungkan kata-kata yang diucapkan Ferdi. Semuanya adalah kata yang baru dia dengar. Tentu saja dia tidak mengerti.

"Yaudah, deh. Lo tadi pas di mobil pengen ngomong apaan?" tanya Ferdi memecahkan renungan Sanha.

"Oh! Itu, ya!"

"Iya." Ferdi tersenyum melihat wajah Sanha yang kini terlihat seperti anak kecil umur 5 tahun. Seakan-akan dia sedang berbicara dengan adiknya.

"Itu ... Ferdi, apa Nabila dan Levi itu berpacaran?"

Ferdi refleks membulatkan matanya. "What? Tau darimana lo?"

"Aku bertanya, Ferdi. Apa menurutmu mereka berpacaran?"

"Hmmm ... kayaknya enggak, deh. Tapi gatau juga, sih kalo mereka diam-diam. Emang kenapa? Lo cemburu, yaaaaa???"

Sanha kini tersipu malu. "Hah? Ti-tidak ... aku hanya penasaran."

"Btw, kapan sih lo nembak Nabila? Kalo dia pacaran beneran sama Levi, gimana?"

"Aku tidak tau bagaimana mengatakannya. Akhir-akhir ini aku tidak pernah lagi berbicara dengannya."

"Lo, sih sama Yuvi mulu. Gue rasa Nabila cemburu, tuh."

Sanha langsung bersemangat. "Jinjja??"

"Cincau?"

"Ah, tidak ... bukan cincau. Aku sedang berbahasa Korea tadi," jelas Sanha.

"Oh. Buruan, dong lo tembak Nabila! Gue yakin 100% lo bakal diterima! Percaya, deh sama gue."

"Eh, tapi, tapi ... kalau dia sudah berpacaran dengan Levi bagaimana?

"Bilang aja lo gak tau. Wakakakak."

"Ha-hah? Mmm ... b-baiklah ... besok... aku akan menembaknya. Hehe ...."

"Hahaha ... gitu, dong! Kalo udah nembak jangan lupa ceritain ke gue, ya!"

"I-iya ... tapi ... kita jadi, kan main game?"

"Oh! Jadi, dong!"






To be continued . . .





1 Year With My Cutie Boy || Sanha ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang