Menyerah

520 70 2
                                    

Kini, sepasang anak muda itu sedang duduk berdampingan di sebuah kursi panjang. Mereka sedang menunggu proses penambalan ban di bengkel motor. Suara gas motor dan bunyi-bunyi alat di bengkel itu meramaikan keheningan di antara mereka berdua.

"Eh, itu Yuvi, kan?" Nabila menatap seorang gadis yang sedang berjalan manis di pinggir jalan.

Mendengar itu, Sanha turut melihatnya dengan matanya sendiri. "Yuvi!" Tanpa sadar Sanha berucap agak keras. Hingga Yuvi pun menengok ke arah mereka.

Yuvi memerhatikan orang yang memanggilnya tersebut dari kejauhan. Alisnya nampak mengangkat sebelah. Setelahnya, dia tersenyum menyeringai.

Yuvi segera menghentikan langkah awalnya. Dia lalu melangkah mendekati Nabila dan Sanha. Setelah berada tepat di hadapan mereka berdua, Yuvi menatap mereka satu per satu.

"Nabila, gue perlu bicara sama lo," ucap Yuvi usai menatap Nabila.

Nabila tak langsung menjawab, dia segera bangkit dari duduknya, namun dicegat oleh Sanha.

Sanha menatap Nabila khawatir. Dia menggelengkan kepalanya. Tatapannya seakan membujuk Nabila untuk tidak pergi meninggalkannya.

Melihat itu, Yuvi mengerti apa yang dipikirkan Sanha. Agar tidak salah paham, dia pun segera menjelaskannya. "Tenang aja, Sanha. Kami gak bakal berantem lagi, kok. Gue cuma mau bilang beberapa hal sama Nabila."

Sanha sedikit terperangah dengan ucapan Yuvi. Bukankah biasanya dia menggunakan panggilan "aku"? Kenapa tiba-tiba berubah menjadi "gue"? Sepertinya ada sesuatu yang aneh dengan Yuvi.

Sanha pun segera melepaskan genggaman tangannya di pergelangan tangan Nabila—setelah turut mendapat tatapan tajam dari gadisnya itu.

***

Yuvi dan Nabila berjalan meninggalkan Sanha sendirian di bengkel itu. Yuvi berjalan beberapa langkah lebih dulu daripada Nabila. Hingga Nabila hanya bisa menyusul di belakangnya. Mereka terus berjalan dalam keheningan. Hingga sampailah mereka di bawah sebuah pohon yang rimbun dan subur. Udara terasa begitu sejuk di bawahnya.

Yuvi membalikkan badannya menghadap Nabila. Dia lantas mengulurkan salah satu tangannya. "Nabila, selamat, ya!"

Nabila tak menjawab. Dia tak mengerti dengan ucapan Yuvi. Dia hanya bisa menatap uluran tangan tersebut di hadapannya.

"Selamat atas jadian lo sama Sanha," lanjut Yuvi.

Nabila membulatkan matanya. Ia tak menyangka kalau Yuvi akan tahu secepat ini. Siapa yang memberitahunya? Apa jangan-jangan teman-teman sekelasnya juga sudah tahu? Atau bahkan seisi sekolahnya juga sudah mendengarnya?

"Lo gak usah khawatir. Gue gak bakal ngerebut Sanha lagi dari lo. Gue udah menyerah." Yuvi menarik uluran tangannya setelah menyadari Nabila belum juga menyambutnya.

"L-lo ...."

"Yaudah, gue pergi dulu. Lo baik-baik, ya sama Sanha!" Yuvi berbalik dan meninggalkan Nabila dengan langkah sedikit berlari. Dia tak membiarkan Nabila untuk berbicara. Seperti yang dia katakan pada Sanha. Bahwa dia hanya akan mengatakan beberapa hal pada Nabila. Tanpa adanya pertengkaran.

Melihat Yuvi yang sudah menjauh, Nabila pun melangkah meninggalkan tempat itu. Dia bergegas menghampiri Sanha di bengkel. Sepertinya ban motornya sudah selesai ditambal.

Akan tetapi, setelah berjalan cepat menjauh dari Nabila, Yuvi membalikkan badannya lagi menatap Nabila dari kejauhan. Ekspresi bahagia yang ditunjukkannya sesaat setelah meninggalkan Nabila kini sirna. Berganti dengan raut penuh kesedihan dan penyesalan. Air mata mulai menetes deras dari sudut matanya.

Sakit! Rasanya benar-benar sakit!

Tangisan gadis itu semakin deras. Isakan-isakan kecil juga mulai keluar dari mulutnya.

Aku sangat menyesal pada diriku sendiri. Meskipun kamu orang pertama yang membuatku jatuh cinta, tapi aku bukanlah orang pertama yang membuatmu jatuh cinta. Dia lebih dulu dariku.

Tangisnya tiba-tiba berhenti. Yuvi tersadar akan suatu hal. Dia pun segera mengusap sisa air matanya. Dia menarik napas panjang dan lantas melangkah pergi meninggalkan perasaannya cukup sampai di sana.

***

Seperti yang Nabila duga, proses penambalan ban motornya kini telah selesai. Dia segera mencari tukang tambal ban itu dan membayar biayanya.

"Berapa, Bang?" tanya Nabila setelah melihat tukang tambalnya dari kejauhan. Dia pun segera mendekatinya.

Karena agak jauh, Sanha tak bisa mendengar jawaban tukang bengkel itu. Dia hanya melihat Nabila yang mengulurkan selembar uang. Setelahnya, tukang bengkel itu mengulurkan beberapa lembar uang lagi sebagai kembaliannya.

"Sanha, ayo pulang!" ajak Nabila sambil menggiring motornya.

Sanha tak menjawab. Dia hanya berjalan mengikuti Nabila di belakangnya. Sambil membantu mendorong motornya.

Nabila memasang helm di kepalanya sesaat setelah dia menaiki motornya. Namun, sedari tadi ia merasa ada yang aneh dengan Sanha. Sanha jadi lebih pendiam daripada sebelumnya. Kini Sanha hanya menunduk murung, tidak berniat untuk duduk di belakang Nabila.

"Sanha, kamu kenapa, sih?" tanya Nabila penasaran.

Sanha masih diam. Nabila pun menatapnya beberapa detik, bermaksud menunggu mulut kekasihnya itu terbuka. Namun, mulut Sanha masih belum juga berkata-kata.

"Gara-gara Yuvi tadi, ya? Tenang aja. Aku sama dia gak berantem. Dia cuma ngucapin selamat, kok."

Sanha langsung mengangkat pandangannya yang tertunduk. "Bukan. Kalau itu aku juga tahu. Kamu dan Yuvi tidak mungkin bertengkar."

"Terus, gara-gara apa, dong? Diajak jalan-jalan gak mau. Ditinggal sebentar jadi makin ngambek. Ada apa, sih?"

"Bukan! Aku tidak ngambek! Tapi ... ngambek itu apa?"

Nabila menepuk jidatnya. "Hhhh ... ngambek itu artinya merajuk."

"Merajuk? Tidak, tuh."

"Terus apa? Bilang, dong! Kalo kamu gak bilang aku gak bakal ngerti."

"Hmmmh ...." Sanha kembali murung. "Aku ... malu mengatakannya."

Nabila semakin dibuat geram dengan tingkah Sanha. "Apaan, sih?! Kenapa harus malu-malu coba?!"

"Itu ... benar-benar memalukan. Aku tidak mampu mengatakannya."

"Bilang gak! Kalo gak kita put—"

"JANGAN!"

"Yaudah, cepet bilang!"

"I-itu ... sebenarnya ... aku lupa membawa tasku."

"Terus?"

"Di dalam tasku ada dompetku."

"Apa hubungannya?"

"Karena uangku ada di dompetku ... kita tidak bisa berkencan. Heung ... Maaf, ya ... aku bahkan juga tidak bisa membayarkan banmu."

Mendengar itu Nabila terdiam. Sesaat setelahnya, tawanya sudah tak bisa dia bendung.

"HAHAHAHA!"

Karena Nabila tertawa keras Sanha menjadi semakin malu. Dia segera memyembunyikan wajahnya dibalik kedua tangannya.

"Jangan tertawa! Aku malu ...."

Nabila tak menghiraukan ucapan Sanha. Dia malah semakin tertawa menjadi-jadi. Ternyata itulah sebabnya Sanha bersikap aneh. Sanha bukannya tidak peka dengan kode keras Nabila yang mengajak jalan-jalan, melainkan dia hanya pura-pura tidak peka. Mana mungkin dia membiarkan Nabila yang membayarkan kencan mereka. Itulah hal memalukan yang dipikirkan Sanha.

Sanha, kok imut banget, sih! Ahahhahaha ....





To be continued . . .




1 Year With My Cutie Boy || Sanha ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang