"Tidak, kita tidak bisa menunggu lagi. Kesempatan tidak datang dua kali. Jika kesempatan kali ini terlewatkan, aku tidak tahu apakah masih ada tempat lain untuk kita di masa depan."
"Bin benar. Satu atau dua orang saja tidak bisa menghancurkan mimpi empat orang."
Di meja itu, keempat pemuda tampan bernama Moonbin, MJ, Rocky dan Eunwoo sedang berdiskusi merancang masa depan. Mereka baru saja mengetahui kompetisi menarik yang akan mendebutkan Boyband untuk para pemenangnya. Kompetisi itu bernama I-Teen.
"MJ-hyeong, apa kau tidak memikirkan Sanha? Dia tidak bersalah. Dia hanya mengejar pendidikannya. Kenapa dia harus dilupakan seperti ini? Perbuatannya yang mana yang menghancurkan masa depan empat orang?"
Perdiskusian mereka kini sedang menuai pro dan kontra menyangkut anggota mereka. Moonbin dan MJ berpendapat mereka tidak bisa memikirkan yang lain jika tidak ingin kesempatan berharga itu terlewatkan. Sedangkan Eunwoo, tidak setuju karena Sanha masih bersekolah di Indonesia. Lalu Rocky ... entah kenapa dia hanya diam sejak tadi.
"Bagaimana denganmu, Rocky? Jika kau mengatakan 'ya', debut sebagai Boyband sudah ada di genggaman kita. Jika kau mengatakan 'tidak', kita tidak akan pernah tahu kapan kesempatan itu akan datang lagi. Dan yang kutahu, kesempatan hanya datang satu kali."
Mendengar penuturan Moonbin, Rocky terdiam sejenak. Debut sebagai Boyband memanglah cita-cita berharganya. Akan tetapi, cita-cita itu akan hampa jika diwujudkan oleh empat orang saja. Dia harus berpikir bijak. Satu suara darinya akan menentukan masa depan mereka semua.
"Bin-hyeong ... MJ-hyeong ... jeongmal mianhada. Aku tidak bisa tanpa Jinjin-hyeong ...."
Moonbin memejamkan matanya menahan amarah. Sedangkan MJ, menatap Rocky dengan tajam. Bersiap untuk menghujamnya dengan kalimat-kalimat yang dipenuhi kebencian.
"Argh ... jinjjaa! Kenapa kau masih saja bersikeras memikirkan si penghianat itu?! Kau pikir siapa yang menyebabkan kehancuran ini? Aku?! Moonbin?!"
"Tidak ... bukan begitu maksudku. Aku hanya—"
"Ah, sudahlah. Pers*tan dengan I-Teen. Mungkin seharusnya aku mendengarkan saran ayahku saja untuk menikah dengan Sera. Kurasa itu lebih baik." MJ pergi meninggalkan Rocky. Diikuti dengan Moonbin yang menatapnya dengan raut kecewa.
Kini, di meja perdiskusian yang berlokasi di kafe itu hanya tersisa Rocky dan Eunwoo yang duduk mematung. Mereka masih bergeming. Bahkan, mata mereka juga belum berkedip. Sedetik setelahnya, Rocky memutar kepalanya menatap Eunwoo.
"Eunwoo-hyeong ... apa yang harus kita lakukan?" tanya Rocky pasrah, dengan wajah datarnya.
"Aku tidak tahu. Kurasa mimpi kita sudah hancur." Eunwoo membuang napas beratnya, lalu mengusap wajahnya dengan gusar.
Rocky pun memutar kepalanya kembali. Dia memandang lurus ke depan. Sesaat setelahnya, sebuah ide cemerlang telah nampak dari tatapan matanya yang bersinar. Senyum semangat baru saja terlukis di bibirnya.
"Aku sudah memutuskan ... aku akan bicara dengan Jinjin-hyeong sekarang juga!" Rocky bangkit dari tempat duduknya, bersiap dengan langkahnya yang berapi-api.
"Mwo?" Eunwoo mengernyit. "Yaa! Kau serius akan bicara padanya?" Eunwoo berdiri dari kursinya dan berbalik menatap Rocky.
Akan tetapi, Rocky terus berjalan menjauh. Dia mengabaikan pertanyaan Eunwoo. Tekadnya sudah bulat, tak bisa lagi diganggu gugat. Itulah prinsip yang dipegang Rocky selama ini.
***
Di tengah langkahnya menuju parkiran, seorang gadis bernama Nabila tiba-tiba tersentak. Kilas informasi baru saja tampil di otaknya. Menyampaikan bahwa ada sesuatu yang terlupakan olehnya.
"Sanha! Gue lupa bawa HP! Kayaknya ketinggalan di rumah! Kalo nyokap gue nelpon gimana, dong? Hari ini katanya mau pulang habis dari—"
Sanha yang saat ini berdiri di belakang Nabila, hanya bisa terdiam menahan napas saat Nabila membalikkan tubuhnya menghadap ke arahnya. Hampir saja mereka bertubrukan.
"Eh, soryy ..." lanjut Nabila.
"Bagaimana kalau ... kita pergi ke rumahmu untuk mengambilnya?" saran Sanha sambil menatap ke atas. Menghindari kecanggungan.
Nabila berpikir sejenak. "Hmm ... ide bagus."
***
Sesampainya di rumah, tanpa aba-aba lagi Nabila turun dari motornya dan berjalan menghampiri pintu rumahnya. Di genggamannya sudah ada kunci yang akan membuka pintu tersebut.
Ketika Nabila memasukkan kunci itu, dia merasa ada yang aneh. "Eh? Gak dikunci? Ada Syifa, kah?"
Ceklek
Belum saja Nabila menyentuhnya, pintu itu sudah terbuka lebih dulu. Sesosok pria yang tidak asing telah berdiri di hadapannya. Nabila terdiam. Begitu pula Sanha yang kini berdiri di belakangnya.
"A-appa? Kenapa ... ada di sini?"
Pria yang dipanggil "Appa" itu menatap ke arah Sanha. Pria tersebut bukan lain adalah Yoon Jinhyuk, ayah kandung Sanha. Dia hanya terdiam, tak berniat menjawab pertanyaan Sanha. Seperti sedang bingung menyusun kata-katanya.
"Lho? Nabila? Sanha?" Ibu Nabila alias Ningsih tiba-tiba muncul dari balik pintu setelah Jinhyuk sedikit menjauh.
"Hahahaha!" Jinhyuk tertawa keras. Membuat tiga orang di sekitarnya menatapnya dengan bingung. "Ku dengar sewaktu kecil kalian tidak pernah akur. Bahkan terakhir kali kalian juga membuat masalah di sekolah. Bagaimana bisa kalian datang berdua seperti ini? Hahahaha."
Nabila dan Sanha saling tatap kebingungan. Lengkap dengan alis yang berkerut. Sedangkan Jinhyuk masih saja tertawa keras. Membuat mereka berdua semakin tidak mengerti.
"Kenapa bingung gitu, sih? Kalian gak ingat, ya?" tanya Ningsih, memecah suasana absurd saat ini.
"Gak ... ingat??? M-memangnya dulu aku sama Sanha pernah ketemu, Bu? Kapan?"
"Masa gak ingat, sih?! Coba kamu ingat-ingat lagi. Anak kecil yang dulu pernah dititipin ke rumah kita, tapi kamu ajak berantem terus. Menurutmu itu siapa?"
Nabila terdiam sejenak. Berusaha keras mengingat apa yang diucapkan oleh ibunya. Apa benar dulu ada bocah seperti itu di rumahnya? Lalu ... apa hubungannya dengan Sanha?
"Maaf ... apa bocah yang Tante maksud itu ... aku?" Pertanyaan Sanha membuat Nabila menatap dengan cepat ke arahnya. Matanya membulat seketika.
Ningsih hanya tersenyum, begitu pula Jinhyuk.
"Tapi ... bukannya anak Tante dulu itu ... laki-laki?"
"HUAHAHAHAHAHAHAHA!" Ningsih dan Jinhyuk serempak tertawa keras. Membuat kedua remaja itu semakin bingung. Apalagi Nabila yang sejak tadi tidak bisa mengingat apa pun.
"Lo ngomong apa, sih? Gue mana punya saudara cowok. Gue cuma punya adek perempuan, dan itu Syif———eh gue ingat! Masa lo cowok sipit rambut mangkuk yang begonya gak ketulungan itu, sih?!"
"Mwo?!"
To Be Continued . . .
KAMU SEDANG MEMBACA
1 Year With My Cutie Boy || Sanha ✔️
Hayran Kurgu[END] Nabila, seorang cewek yang mengaku menyukai cowok cool daripada cowok cute, tiba-tiba terus memikirkan seorang cowok pertukaran pelajar asal Korea Selatan bernama Sanha. Sanha adalah cowok terimut yang pernah ia temui. Bahkan, seisi s...