Berita Buruk

643 86 7
                                    

"Appa, apa maksudnya Jinjin-hyeong mengambil tempat di perusahaan utama?"

Sanha menatap ayahnya dengan bingung. Dia masih tidak ingin percaya dengan apa yang didengarnya. Masalahnya, mereka berenam sudah saling berjanji untuk tidak menduduki posisi apa pun di perusahaan itu. Jika ada salah satu di antara mereka yang mengambil posisi di sana, artinya impian mereka telah hancur.

"Kau juga berhentilah memanggil mereka dengan nama-nama itu. Jika orang lain mendengar, mereka bisa salah paham dan mengira itu nama asli."

Sanha tak bisa berkata-kata lagi. Dia tidak tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Cita-cita mereka sudah hancur. Ada apa dengan Jinjin? Kenapa dia tega melakukan itu?

Sanha bahkan akan segera melupakan panggilan-panggilan spesial itu. MJ untuk Kim Myeong Joon, Jinjin untuk Park Jinwoo, Cha Eunwoo untuk Lee Dongmin, Rocky untuk Park Minhyuk, kecuali Moon Bin dan dia sendiri yang tidak punya nama spesial. Semuanya kini sudah berakhir. Tapi, hyeong-hyeong-nya masih belum datang juga?

"Kau dan Dongmin bersiaplah. Karena sebentar lagi Appa juga akan menempatkan kalian di posisi yang bagus. Kau belajar yang benar."

Sanha hanya diam. Dia tak menjawab perkataan ayahnya. Tak ada senyuman lagi di wajahnya. Dia merasa dikhianati oleh Jinjin.

Bagaimana bisa dia berbuat seperti itu?

Apa dia tidak memikirkan tentang kami semua? Dan cita-cita itu?

***

Seorang gadis dengan rambut terurai rapi memasuki kelasnya. Matanya melirik ke arah seorang laki-laki yang duduk di kursi barisan kedua dari depan. Namun, laki-laki itu bergeming. Nampak raut kesedihan di wajahnya.

"Pa-pagi ... Sanha."

Ia memberanikan diri menyapa Sanha, meski agak gugup dan jantungnya berdebar-debar dengan kencang.

Sanha mengangkat pandangannya dan menatap gadis itu. "Pagi, Nabila."

Nabila agak bingung dengan Sanha saat ini. Biasanya, wajah Sanha akan nampak senang jika ia menyapanya duluan. Tapi tidak untuk sekarang. Wajahnya hanya memancarkan aura kesedihan. Nabila menjadi khawatir.

"Sanha ... lo ... ada masalah apa?" tanya Nabila ragu-ragu.

Sanha menatap Nabila lagi setelah sebelumnya menatap ke bawah. "Aku bingung bagaimana mengatakannya."

Nabila menatap Sanha dengan prihatin. Ia turut bersedih, meski tak tahu apa yang terjadi dengan Sanha.

Di kelas XI IPA 1 masih sedikit yang datang. Hanya sekitar 5 orang termasuk Sanha dan Nabila. Saat ini memang masih sangat pagi.

"Sanha, lo mau ikut gue gak sekarang?"

***

Di bawah pohon yang rindang, dengan udara pagi yang sejuk, Sanha dan Nabila duduk berdampingan di kursi yang ada di taman belakang sekolah mereka. Di sana sepi, belum ada satu pun orang lain selain mereka berdua.

"Sanha ..." panggil Nabila dengan lirih.

"Maaf, Nabila. Mungkin kamu merasa tidak nyaman dengan sikapku. Sekarang aku sedang kacau."

"Lo bisa ceritain itu semua ke gue."

Sanha menatap Nabila tidak percaya. "Tidak. Tinggalkan saja aku di sini sendiri. Aku hanya akan membuatmu semakin tidak nyaman."

"Kenapa? Lo gak percaya sama gue?"

"Tidak. Tidak begitu. Aku hanya—"

"Apa? Ceritain aja ke gue! Gue bakal ngehapus wajah sedih lo itu."

Sanha tersenyum haru mendengar ucapan Nabila. Tak disangka, ternyata gadis pujaan hatinya sepeduli itu padanya.

"Aku harus berbuat apa jika orang yang aku percaya dan sangat kusayangi menghianatiku?" Sanha memasang ekspresi itu lagi. Senyumnya langsung lenyap setelah mengucapkan kalimatnya.

Nabila terdiam sejenak. "Menurut gue, lo harus tetap percaya dan sayang sama dia. Dia pasti punya alasan. Karena belum tentu keadaan saat ini sama dengan yang terjadi sebenarnya."

"Benarkah? Lalu bagaimana caranya agar aku bisa menahan kekecewaanku dan tetap teguh memercayai dan menyayanginya?"

"Lo hanya perlu nunggu waktu buat ngejawab itu semua."

Sanha terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia langsung mengalihkan pandangannya ke langit. Lalu menutup wajahnya. Ia tak ingin menunjukkan air matanya yang tak tahan ingin jatuh.

"Sanha ... kuatkan hati lo. Gue juga pernah, kok ngehadepin masalah yang bisa bikin lo ngerasa gitu. Lo hanya perlu bersabar. Semua akan indah pada waktunya. Gelap saat ini, akan segera berganti terang sesaat lagi."

Sanha memandang Nabila, dan Nabila menampilkan senyum manisnya. Sesaat kemudian, Nabila menepuk-nepuk punggung Sanha dengan lembut, bermaksud memberi semangat padanya.

"Nabila ... terima kasih," bisik Sanha sambil berusaha untuk tersenyum meski sulit. Tak ada alasan baginya untuk tak menampilkan senyum pada sang bidadari hatinya.

"Lo udah baikan sekarang?" tanya Nabila memastikan.

"Iya." Sanha tersenyum. Aura kesedihannya sudah terhapuskan berkat Nabila. "Aku harap kamu juga bersedia menceritakan masalahmu itu kepadaku."

Nabila memalingkan wajahnya. Suasananya mulai dingin kembali. "Ya. Tapi gak sekarang." Nabila lalu tersenyum kecut.

"Aku akan menunggu untuk itu." Sanha tersenyum. Dia membenarkan duduknya, berusaha mendekat pada Nabila.

"Eh?" Nabila tersentak kaget. Sanha menaruh kepalanya di pundaknya.

"Tolong biarkan aku seperti ini sebentar saja," jawab Sanha tanpa menggerakkan kepalanya dari pundak Nabila. Sepertinya kesedihannya belum hilang sepenuhnya.

"M-Hmh ...."

Nabila tak berusaha memindahkan kepala Sanha dari pundaknya. Dia juga tak mengerti kenapa dia tidak sanggup untuk menolaknya.

Mungkinkah gue emang jatuh cinta sama dia?

Kenapa gue ngerasa nyaman banget sama keadaan sekarang?

Mendengarkan masalahnya, lalu membiarkan dia bersandar di pundak gue ... kok, gue seneng?

Gue harap waktu berhenti sekarang.

Gue gak mau saat-saat kayak gini segera berakhir.










To be continued. . .




1 Year With My Cutie Boy || Sanha ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang