Permohonan

466 65 3
                                    

Walau aku muda dan itu cinta remaja, aku tahu apa itu rasa sakit.
Perpisahan bukan hal biasa bagiku.

***

"Sanha! Kamu kenapa, sih? Aku salah apa?"

Semenjak kejadian malam itu, Sanha tidak lagi bersikap seperti biasanya. Dia selalu menghindar dari Nabila. Bahkan, jika bukan karena Ningsih dan ayahnya, mungkin ia akan segera pindah lagi ke asramanya.

Sanha masih saja bergeming. Tubuhnya yang membelakangi Nabila kini mulai melangkah setelah sebelumnya terhenti.

"Sanha!" Nabila terus berusaha memanggilnya. Ia berjalan cepat mengikuti Sanha di belakangnya.

Nabila kini berada tepat di hadapan Sanha. "Sanha! Kalo emang gini mau kamu, lebih baik kita put—" Sanha menutup mulut Nabila dengan jari telunjuknya.

"Tolong ... jangan katakan itu. Aku mohon ..." lirih Sanha. Tatapannya mulai sendu, dan matanya mulai berkaca-kaca. "Aku akan mengatakannya padamu." Sanha menggenggam tangan Nabila dengan erat, lalu menuntunnya menuju suatu tempat.

Pelajaran sudah berlalu dari beberapa menit yang lalu. Itu sebabnya Sanha dan Nabila yang berjalan di koridor itu kini menuju ke parkiran.

"Kunci?" ucap Sanha sembari mengulurkan telapak tangannya. Nabila pun segera memberikan kunci yang dipintanya.

Sanha segera menghidupkan motor Nabila. Dan Nabila lantas duduk di belakangnya. Hanya ada keheningan sepanjang jalan.

Entah kenapa, rasanya perjalanan tersebut terasa begitu panjang bagi Nabila. Sudah hampir satu jam namun Sanha belum juga memberhentikan motornya di suatu tempat.

Karena tak tahan, akhirnya Nabila bersuara. "Sanha, kita mau ke mana, sih?"

"Ke tempat yang kamu tunjukkan waktu itu. Yang banyak ilalangnya."

"Hah? Tapi kok, lewat sini, sih?"

"Maaf ... aku lupa."

Nabila hanya memutar bola matanya. Rupanya Sanha lagi-lagi kesasar. Ingatannya memang buruk jika mengenai jalan.

"Yaudah, stop di sini. Biar aku yang bawa motor."

"Tidak mau."

Nabila mengerutkan keningnya heran. "Ishhh ... nanti makin kesasar!"

"Kamu bilang saja aku harus ke mana. Biarkan aku yang menyetir."

Nabila mendengus geram. "Yaudah, belok kiri cepetan!"

Setelah dipandu lurus, ke kiri dan ke kanan oleh Nabila, akhirnya sampailah mereka di tempat tujuan.

Sesampainya di sana, bukannya langsung menceritakan maksud dan tujuannya, Sanha malah terpukau dengan pemandangan tersebut.

"Woy, Sanha! Malah bengong, nih anak. Cepetan, kamu mau ngomong apa?" desak Nabila.

Sanha gelagapan. "O-oh ... iya. Aku ... aku ... a-aku—"

"Apa, sih?! Ngomongnya gak jelas banget!"

"Itu ... aku akan menceritakan semuanya dari awal." Sanha menarik napas dalam. Dia membalikkan badannya, menghadap matahari yang sepenggalahan lagi akan tenggelam. "Kamu tahu, kan bahwa beberapa hari yang lalu hyeong-hyeong-ku mengunjungi asramaku?"

Nabila turut menghadapkan tubuhnya menghadap matahari mengikuti Sanha. "Iya, tau. Jadi ini semua gara-gara mereka?"

"Bisa dibilang begitu, tapi bisa juga tidak."

"Maksudnya?"

"Dari sejak kami kecil, kami punya cita-cita. Yaitu menjadi bintang yang paling bersinar di antara bintang-bintang lainnya."

"K-kamu ngomong apa, sih?"

Sanha menatap Nabila sekilas. Setelahnya dia menatap langit kembali.

"Menjadi bintang yang ku maksud adalah idola. Kami ingin menjadi idola yang paling bersinar di hati para penggemar."

"Apa? Wah ... keren, dong cita-cita kalian." Dengan polosnya Nabila tersenyum bahagia mendengarnya. Masih tak mengerti maksud dari perkataan Sanha yang sebenarnya.

"Sekarang cita-cita itu sudah hampir berada di genggaman kami. Tapi ...." Sanha menggantungkan kalimatnya. Ia memejamkan mata untuk mengatur emosinya.

"Tapi ... apa?" Nabila menatap Sanha khawatir.

"Jika aku memilih untuk menggenggam cita-cita itu ... maka aku harus meninggalkanmu."

Nabila terdiam. Tubuhnya lemas seketika. Kata-kata yang didengarnya itu sudah cukup membuat napasnya hampir berhenti. Namun hatinya menolak dan mendesak otaknya untuk berpikir positif.

"Ja-jadi gitu, ya ... gak papa, sih. Lagian suatu hari nanti kamu juga bakal balik ke sekolahmu. Asalkan hubungan kita gak putus gitu aja. Kan, kita masih bisa berhubungan lewat sosmed. Kayak LINE misalnya."

Sanha menatap Nabila tak percaya. Namun gadis itu malah tersenyum di tengah-tengah rasa sedihnya. Sanha pun semakin merasa bersalah.

"Tidak semudah itu ... ketika memilih menjadi seorang idola aku harus mencintai dan menghargai penggemarku. Mungkin agensiku akan melarangku untuk menjalin hubungan denganmu."

Nabila semakin sedih mendengarnya. Ia tetap tersenyum meski hatinya bak disayat-sayat. "K-kalau gitu ... aku akan menjadi penggemarmu."

Sanha sudah tak tahan lagi mendengarnya. Rasanya benar-benar menyakitkan. Air matanya pun tak sanggup lagi ia sembunyikan.

"Maaf ... maafkan aku. Ini semua salahku. Aku tak suka perpisahan. Tolong ... katakan saja bahwa aku tidak boleh pergi darimu." Sanha memohon dengan suara seraknya. Ia terus menatap Nabila dalam. Mengeluarkan seluruh emosinya.

Mata Nabila pun mulai berkaca-kaca. Setitik air mata baru saja menetes dari ujung matanya. "Aku harus gimana? Aku gak pantes buat dipilih. Cita-cita kamu lebih berharga daripada aku."

Sanha menarik tangan Nabila dan menggenggam telapak tangannya dengan erat. "Kumohon ... jangan biarkan aku pergi. Aku ingin terus bersamamu. Aku ingin terus menatapmu. Aku ingin terus berada di sampingmu."

Air mata Nabila berjatuhan semakin deras. "Aku gak bisa ... aku terlalu egois jika melakukannya. Aku gak mau jadi penghalang antara kamu dan cita-citamu."

"Tapi ini menyakitkan ... perpisahan itu menyakitkan ...." Air mata Sanha pun juga tak mau berhenti. Terus berjatuhan seiring rasa sakit hatinya yang kian bertambah.

"Aku juga sakit, Sanha ... lebih sakit .... Karena aku yang akan menyanyikan lagu perpisahan itu untukmu."






To be continued . . .


1 Year With My Cutie Boy || Sanha ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang