Prilly membuka matanya perlahan, sedikit mengerjapkan untuk mengatur ketajaman cahaya yang menusuk retinanya. Ketika matanya membulat sempurna, yang ia tangkap pertama kali ialah langit-langit bercat putih, lalu pandangannya berkeliling ke segala penjuru ruangan.
Perempuan itu yakin, bahwa ia sedang berada di rumah sakit sekarang. Buktinya ia melihat ada selang infus yang tergantung dan terhubung ke punggung tangannya. Prilly masih merasa lemas, kepalanya masih terasa sedikit nyeri dan berat sekali.
Tidak ada siapapun yang menemaninya di sini, tapi Prilly lihat pintu ruangan agak terbuka seolah baru saja ada yang keluar dan lupa merapatkannya.
"Kenapa papa nggak pernah kasih tau Ali soal ini? Apa Ali nggak berhak tau?"
Suara berat seseorang yang begitu familiar membuat Prilly diam untuk mendengarkannya.
"Bukan begitu, nak. Apa selama ini kamu mengabari papa? Kemana kamu setelah pulih?"
"Itu... kayak suara papa," desis Prilly. Karena begitu penasaran mendengar percakapan yang cukup menegangkan dari dua orang yang sangat Prilly kenal dari nada suaranya, Prilly buru-buru turun dari ranjang. Perempuan itu menyeret tiang yang menggantung tabung plastik berisi cairan infus yang terhubung ke dalam tubuhnya.
"Sudahlah, nak, sekarang kan kamu sudah tau kenyataannya. Dan kamu jangan khawatir, selama ini Prilly dan Rohan papa yang jaga, mereka baik-baik saja," ucapan Chandra bisa Prilly dengar dengan sangat jelas dari balik pintu. Dalam hitungan detik, Prilly membuka pintu itu. Di sana, di kursi depan kamar rawat Prilly, ada Chandra dan Alindra yang tengah bercakap dengan serius.
"Iya, gue dan Rohan baik-baik aja. Apalagi kalau lo pergi dari kehidupan kita, itu jauh lebih baik!" sambar Prilly saat tahu bahwa yang berbicara dengan Chandra adalah Alindra.
"P-Prilly? Kamu sudah siuman?" Chandra bangkit dari duduknya. Pria paruh baya itu merangkul lengan Prilly untuk membantunya berdiri, padahal Prilly bisa sendiri.
Prilly mengangguk samar. "Pa, Prilly mau pulang sekarang. Dan papa utang penjelasan ke Prilly," kata Prilly datar.
"Dokter bilang kamu harus mendapat perawatan intensif, jadi nggak boleh pulang dulu," ujar Chandra.
"Nggak. Prilly bisa rawat diri Prilly sendiri, dan Prilly nggak mau, pa, ada yang ikut campur dalam keluarga kita. Orang asing tetep orang asing.." bola mata Prilly melirik ke arah Alindra.
"Ali memang orang asing untuk kamu, Pril. Tapi enggak dengan Rohan,"
"Tapi dia bukan siapa-"
"-dia ayahnya Rohan, Pril. Mau sejauh apapun kamu pergi, Rohan tetap anak Ali. Walaupun kamu tidak menikah dengan Ali, Rohan tetap jadi tanggung jawab Ali karena dia ayah kandungnya. Tolong lah, Pril, tolong wujudkan mimpi Rohan. Apa selama ini kamu tidak merasa berdosa sudah membohonginya?" kata Chandra memotong pembicaraan Prilly.
Prilly mati kutu. Ia tidak bercakap sepatah katapun selain diam mendengar ucapan Chandra.
Sekilas bayang senyum anak laki-laki itu terlintas, membuat perasaan Prilly semakin tambah hancur. Apa selama ini ia egois? Rohan tidak bersalah, tapi mengapa ia yang menanggung dukanya? Prilly memiriskan hal tersebut. Namun di hatinya yang paling dalam, masih ada benci yang menetap di sana. Hidup berdampingan dengan cinta yang selama ini mencoba Prilly kubur sedalam mungkin.
Perempuan itu menunduk, meneteskan air mata yang tidak tertahankan lagi. Lalu tanpa berpikir panjang, ia melepas kasar selang infus yang masih tercantel ditangannya. Tidak peduli jika sekarang ia masih dalam kondisi buruk, tubuhnya terasa lemas, kepalanya masih sakit, tapi kini Prilly tidak ingin di ganggu siapapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
SORRY
Fanfiction[SELESAI] Maaf. Aku sangat mencintaimu, tapi terkadang aku benci tiap kali ingat bahwa tujuanku adalah untuk balas dendam. Aku benci pada rasa yang seharusnya tidak pernah hidup di dalam detak jantungku. Suara tembakan yang menghantam jantung ibu...