13. Again.

4.4K 559 13
                                    

Nasi dan lauk-pauk di meja makan yang Chandra sengaja buatkan untuk Prilly tidak disentuh sama sekali. Perempuan itu tak kunjung keluar dari kamarnya, tidak meminum obatnya pula. Prilly menyiksa dirinya sendiri. Ia merasa dirinya memang salah, tapi tetap tidak ingin menyesalinya.

Prilly memandang potret yang terpanjang di dinding kamarnya, potretnya bersama mama dan papa. Yona, ibunda Prilly sedang mengenakan pakaian kebanggaannya -pramugari, dan Chandra mengenakan pakaian profesinya -polisi, dan Prilly yang kala itu masih berumur delapan tahun terlihat begitu anggun mengenakan gaun merah mudanya.

Air matanya pecah ketika memandang potret itu, kemudian ia melangkah mendekat, mengusap wajah Yona di dalam potret itu.

"Cia yakin mama udah bahagia di sana, tapi Cia enggak, ma," lirihnya. "Kenapa waktu itu bukan Cia aja yang ditembak Ali? Kenapa mama harus nolong Cia? Kepergian mama ninggalin banyak luka hiks hiks, Cia kesepian dan sekarang Cia terjebak sama apa yang Cia benci," katanya.

"Mama tau? Cia pernah jatuh cinta, Cia pernah ngalamin sesuatu yang pernah mama ceritain. Ucapan mama jadi kenyataan, Cia bakal nemuin seseorang yang Cia cinta, Cia nemuin, tapi cuma untuk balas dendam. Tapi mama tau? Cia tersiksa ma hiks hiks, Cia merasa kalau Cia salah, tapi Cia nggak pernah menyesali semua itu. Sekarang Cia cuma punya papa dan Rohan, tapi masa lalu terus ngikutin Cia. Cia capek ma, Cia pengen di samping mama hiks hiks," Prilly meremas rambutnya sambil menangis deras. Selama ini ia cukup letih, apalagi oleh omongan jahat orang-orang di luar sana. Meskipun papa selalu melihat Prilly begitu tegar, tapi nyatanya perempuan itu selalu menangis di kamarnya.

Prilly menghapus air matanya, lalu melangkah keluar kamar dan hendak turun ke bawah. Di meja makan, sudah tersedia makanan untuknya, dan juga obat yang belum sempat ia sentuh. Ia mendekati puluhan kapsul itu, mengepalhya erat kemudian memutar tutup botol tabung plastik itu perlahan. Lalu, Prilly menuangkannya ke lantai, menginjak-injaknya sampai obat-obat itu hancur. Ia menjatuhkan gelas berisi air mineral yang berada diatas meja sampai pecah, bahkan kakinya terkena pecahan beling itu. Prilly tidak peduli, ia malah melangkah melewati beling itu sampai telapak kakinya berdarah.

Hanya isak tangis menahan perih dan sakit dikepalanya, jalannya sudah gontai karena beling itu menusuk kakinya semakin dalam. Prilly berjalan merembet sambil berpegangan pada meja makan, ia berjalan menuju lemari besar yang berada di ruang keluarga. Prilly membuka laci di bagian bawah, mengambil salah satu dari puluhan tembakan di sama. Kemudian ia duduk di sofa yang menghadap ke arah televisi. Bukan ingin menyalakan televisi dan menontonnya, melainkan mengamati tembakan itu dalam-dalam.

"Rohan, maafin mama hiks hiks. Mama nggak pernah nyesel pernah balas dendam, mama nggak pernah nyesel atas kesalahan mama, mama cuma nyesel nggak bisa kasih tau yang sebenarnya. Dan dengan cara ini, mama hampir misahin Rohan sama.." lirih Prilly yang sudah tak sanggup melanjutkan ucapannya. Dan siap melepaskan tembakan itu tepat di kepalanya.

Dalam sepersekian detik, jemari telunjuk Prilly mulai menarik sesuatu yang akan menghancurkan kepalanya. Sebelumnya, ia menutup kedua matanya rapat-rapat.

DOR!

Darah segar langsung mengalir di sela-sela jemari tangan, lalu mulai menetes ke bahu kanan Prilly. Perempuan itu membuka matanya bulat-bulat, air matanya menetes seiring retinanya terbuka lebar.

Ia baik-baik saja, lalu darah siapa yang menetes di bahunya? Dengan cepat ia menoleh ke belakang, mendongakkan kepalanya dan mendapatkan dia di sana.

Alindra. Pria itu ada di sini. Datang atas perintah Chandra untuk menjaga Prilly. Tadinya ia ragu untuk masuk ke dalam, tapi ketika mendengar ada suara pecahan beling dari dalam ia segera masuk. Ia menemukan Prilly di ruang keluarga tengah duduk di sofa sambil menggenggam tembakan yang siap menghancurkan kepalanya, lalu dengan sigap Alindra mencegahnya dengan mengepal lubang keluarnya peluru. Detik itu juga Prilly melepas tembakannya dan melukai telapak tangan Alindra.

SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang