29. Sick.

5.3K 703 135
                                    

Prilly memindahkan Sisy ke kursi roda, putrinya itu merengek minta jalan-jalan sore sambil disuapi bubur ke taman. Prilly senang Sisy sudah lebih baik dari kemarin, hatinya jauh lebih lega. Namun, gadis itu belum diperkenankan pulang, atas permintaan Alindra putrinya harus segera dicarikan donor ginjal dan jantung. Sampai sejauh ini, sulit sekali mencari pendonor jantung, sekalipun ada, untuk melakukan operasi sangat berisiko karena usia Sisy masih belia, takut tak mampu.

Syukur, donor ginjal yang cocok untuk Sisy sudah ditemukan. Jadi, dua sampai tiga hari ke depan Sisy akan melakukan operasi secepatnya. Prilly sangat bersyukur, setidaknya satu kelemahan putrinya lenyap. Apalagi Alindra, ia sangat senang sekali. Ia rela mengeluarkan biaya sebanyak apapun demi Sisy, putrinya.

Di lubuk hatinya yang terdalam, Prilly merasa malu. Ucapan Alindra terus terngiang di kepalanya. Selama ini Prilly hanya bisa membuat Sisy sengsara, ketakutan, gelisah, tidak nyaman, bahkan kesusahan. Tapi, Prilly berusaha memberikan hidupnya untuk Sisy. Selama di Singapura, Prilly sering menggambar gaun-gaun indah dan ia jual ke butik ternama. Dari situ sumber penghasilannya, meski tak seberapa yang penting cukup untuk kebutuhan mereka berdua. Padahal Prilly ingin pula membuka butik, tapi modalnya sangatlah besar, untuk biaya pengobatan Sisy saja tak tercapai.

"Ma, kenapa ya kok aku merasa asinggg banget deket-deket papa sama bang Rohan?" tanyanya.

Prilly tersenyum. "Mungkin karena kalian belum terbiasa beradaptasi. Nanti kalau tinggal serumah, pasti nggak asing lagi." jelas Prilly.

"Oh gitu ya, ma."

"Iya."

Prilly kembali menerbangkan sendok aluminium berisi bubur itu ke dalam mulut Sisy, lalu mengusap tepi bibirnya yang kotor terkena noda bubur.

"Nanti kalau tinggal sama papa, Sisy nggak boleh nakal ya? Sisy harus jadi anak yang baik." tutur Prilly.

"Loh, nanti mama tinggal bareng kita juga kan?" tanyanya polos.

Prilly menggeleng. "Mama harus kembali ke kehidupan mama. Bukannya mama mau ninggalin Sisy, tapi mama rasa kalau Sisy tinggal sama papa, Sisy jauh lebih aman dan terjaga. Mama nggak mau terus-menerus ngajak Sisy untuk terluka, susah, dan sengsara, karena Sisy bidadarinya mama."

"Kok mama ngomongnya gitu..." suara gadis itu terdengar bergetar. "Kan, mama papa bisa sama-sama jagain Sisy. Terus kenapa mama harus pergi? Hiks hiks. Sisy nggak mau ditinggal mama!" lirihnya.

"Stt... sttt... nggak boleh nangis, sayang. Mama perginya nggak sekarang kok." Prilly mulai menenangkannya.

"Tetep aja nanti mama pergi hiks hiks."

"Sisy kan udah besar, selama ini mama kan yang rawat Sisy? Jadi, sekarang mama mau ngasih papa kesempatan untuk bisa rawat Sisy." mata Prilly berkaca.

"Apa salahnya mama sama papa rawat Sisy bareng-bareng?"

"Memang nggak salah, Sy. Cuma mama dan papa nggak bisa sama-sama..." air matanya pun ikut menetes.

"Pokoknya Sisy nggak mau, Sisy nggak mau tinggal di sini kalau nggak ada mama hiks hiks." tegasnya.

Melihat gadisnya berontak, air mata Prilly menderas. Ia langsung memeluk Sisy dengan sangat erat, meletakan bubur itu di atas kursi taman. Dagu Sisy bertumpu di atas bahu Prilly, ia menangis di sana, punggungnya diusap penuh kasih oleh Prilly.

***

Prilly duduk khawatir di depan ruangan Sisy, di dalam dokter tengah memeriksa keadaannya yang drop kembali. Prilly menyesal telah memberitahu Sisy tentang hal ini, gadis itu terlalu memikirkannya.

SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang