Akibat ucapan Kinan tadi, Prilly hampir saja berniat membunuhnya. Entah, Kinan maupun Alindra tidak mengerti maksud dari tatapan tajamnya. Alipun heran, tapi ia tidak begitu memperdulikannya. Bukankah semua ayah akan melakukan hal itu jika putrinya disakiti?
Sekarang, ditengah derasnya hujan Prilly duduk di tepi jendela kamarnya. Tangannya keluar dan bermain bersama tetesan air yang berjatuhan dari langit itu. Dingin, tapi Prilly suka.
Tiba-tiba suara panggilan masuk dari seseorang berhasil memecahkan lamunannya. Prilly bangkit, mengambil ponselnya yang ia letakkan diatas nakas.
Ali.
Nama itu tertera di layar ponsel.
Dan Prilly cepat-cepat menerimanya.
"Ha-halo?" Alindra memulainya lebih dulu.
"Iya. Kenapa, Li?" sahut Prilly.
"Gapapa. Di sana hujan nggak?"
"Apa sih, masa telepon cuma mau tanya di sini hujan atau nggak. Nggak jelas deh," Prilly tertawa kecil.
"Ya nggak, sekalian mau nanyain orangnya sih hehe. Lagi apa?"
"Ihh pasti modus!" batin Prilly.
"Lagi liatin hujan," jawab Prilly.
"Jangan dong, nanti hujannya salting.."
"Li, mulai deh nggak jelasnya.." Prilly menyelipkan sejumput senyum di sudut bibirnya.
"Jangan senyum-senyum sendiri, nanti gila," katanya dan tepat pada sasaran. Prilly jadi tambah bingung dan salah tingkah.
"Coba deh to the point, tujuan lo telepon gue apa?" gadis itu bertanya lagi.
Tak ada jawaban, hanya terdengar hembusan nafas dari ujung sana.
"Kok diem?"
"Gua denger suara selain suara lo deh, Pril. Makanya gua diem karena mau dengerin lebih jelas,"
Entah mengapa tiba-tiba pikiran Prilly langsung tertuju pada makhluk halus. Ah, jangan bilang Alindra ingin menakut-nakutinnya.
"Jangan nakutin ah!" ujar Prilly sambil menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa tidak ada apapun di kamarnya kecuali dirinya sendiri.
"Siapa yang nakutin sih? Maksud gua suara yang gua denger itu bunyi jantung lo yang sekarang lagi deg-degan gara-gara salting hahaha," Alindra tertawa renyah diujung sana.
"Ihh Aliii!" sungguh kali ini Prilly benar-benar merasakan degupan yang Alindra maksud. Prilly tidak mengerti, saat ia memegang dan merasakan detak jantungnya sambil menutup mata seolah ada nama Alindra yang ikut berirama di sana. Prilly yakin, ini perasaan yang Prilly mulai suka tapi mencoba ia hindari. Bahwasannya ia sama sekali belum merasakan keadaan ini, keadaan di mana ada suatu pilihan yang tidak bisa ia ambil salah satunya. Terlalu rumit.
"Yaudah gih tidur, besok sekolah. Terus pulang sekolah ikut gua," kata Alindra.
"Kemana?"
"Terserah gua,"
"Oh. Mau ngapain?" tangan gadis itu masih bermain di bawah hujan.
"Mau gua jadiin pacar.."
"..eh keceplosan," tukas Alindra.
"Ohh gituuu," Prilly menggodanya sambil tersenyum jahil meski Alindra tak bisa melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SORRY
Fanfic[SELESAI] Maaf. Aku sangat mencintaimu, tapi terkadang aku benci tiap kali ingat bahwa tujuanku adalah untuk balas dendam. Aku benci pada rasa yang seharusnya tidak pernah hidup di dalam detak jantungku. Suara tembakan yang menghantam jantung ibu...