Air mata perempuan itu tak kunjung berhenti. Sesampainya di rumah ia langsung pergi ke kamar bersama Rohan, anak laki-lakinya itu langsung tertidur karena kelelahan.
Prilly mengusap-usap rambut Rohan sambil menatap lurus ke depan. Sesekali ia memperhatikan wajah damai Rohan yang tertidur pulas. Tatapannya kosong, tersirat setumpuk kesedihan yang mendalam di sana. Ya Tuhan, apa Prilly akan menghadapi rintangan yang lebih rumit lagi setelah ini? Prilly begitu syok melihat perubahan Alindra seperti dulu dalam sekejap. Prilly benci ketika ia harus teringat akan masa lalu.
Setelah dirasa Rohan sudah benar-benar pulas, ia menghubungi Chandra dan menceritakan semuanya. Tangisnya kembali pecah, ia tak dapat membendung kesedihannya kepada Chandra.
"Pa hiks hiks. Prilly nggak tau harus apa, Ali kembali kayak dulu lagi hiks hiks. Prilly nggak marah perihal Ali nuduh Prilly yang bukan-bukan, tapi Prilly marah Ali jadi pemberontak lagi. Dua orang tewas karena ulah Ali, pa hiks hiks," lirihnya.
"Coba tunggu kabar dari Ali dulu, kali aja ada kesalahpahaman. Bicarakan dengan kepala dingin,"
"Prilly titip Rohan ya, pa. Maafin Prilly, Prilly nggak bisa kayak gini. Prilly benci tiap kali harus inget masa lalu," Prilly langsung mengakhiri panggilan itu, membuat Chandra berpikir macam-macam di sana.
Prilly meletakkan ponselnya, kemudian mengambil sebuah amplop yang sudah ia buat sedemikian indahnya dari dalam tas. Amplop itu diikat menggunakan pita berwarna merah, di sana tertulis:
To : My husband
Prilly meletakkannya ke dalam laci paling bawah, meninggalkannya di sana supaya tidak ada satupun yang tahu. Termasuk Alindra, karena Prilly yakin Alindra tidak akan pernah membuka laci ini karena ia tidak pernah menyimpan benda penting di sembarang tempat.
Kemudian Prilly membenahi baju-bajunya ke dalam koper, sangat buru-buru sampai ia tidak peduli semuanya jadi berantakan. Inilah kebiasaan buruknya, memilih pergi untuk menghindari masalah. Padahal seharusnya masalah dihadapi, bukan ditinggali. Karena sejauh manapun kita pergi meninggalkan masalah, seumur hidup kita akan terus dihantui.
***
Saat melangkah masuk ke dalam rumah, suasana menyeruak berbeda. Alindra sedikit gugup jikalau nanti ia bertemu dengan Prilly. Ia berjanji akan menjelaskan semuanya.
Namun, sebelum ia pergi ke kamar, ia menemukan ayah mertuanya tengah duduk di ruang tengah bersama secangkir kopi. Alindra menghampirinya kemudian mencium tangannya.
"Bagaimana, Li? Apa semuanya sudah beres?" tanya Chandra.
"Alhamdulilah, pa. Udah clear," jawab Alindra dan ia jatuhkan pantatnya di atas sofa kosong sebelah Chandra.
"Kalau boleh papa tau, cikal-bakal permasalahan ini apa, Li? Papa dengar katanya kamu kembali seperti dulu, menembak orang sampai tewas di mall. Memangnya tidak ada security yang memeriksa setiap pengunjung yang masuk? Biasanya kalau membawa senjata tajam tidak diperkenankan,"
"Bukan begitu pa.." kata Alindra.
Pria itu mulai menceritakan awal mula permasalahan terjadi, termasuk mengenai Bio. Sampai pada akhirnya berhenti di titik terpenting.
"Pas Ali mau pergi, Ali nggak sengaja liat mereka mengeluarkan senjata dan mengarah ke Prilly. Ali yakin, pa. Maka dari itu Ali lebih dulu menebak mereka. Soal senjata, Ali selalu bawa setiap saat untuk jaga-jaga. Kalau pergi ke suatu tempat yang dilarang membawa senjata tajam, sebelumnya Ali sudah meminta anak buah Ali untuk izin. Tapi karena kejadian tadi Ali jadi diamankan, Ali dibawa ke kantor polisi. Untung Ali dibantu bukti CCTV, dan juga pemilik mall itu kenal sama Ali. Jadi Ali nggak apa-apa,"
KAMU SEDANG MEMBACA
SORRY
Fanfiction[SELESAI] Maaf. Aku sangat mencintaimu, tapi terkadang aku benci tiap kali ingat bahwa tujuanku adalah untuk balas dendam. Aku benci pada rasa yang seharusnya tidak pernah hidup di dalam detak jantungku. Suara tembakan yang menghantam jantung ibu...