Alindra merindukannya. Rindu senyum tipisnya yang hanya ia balas dengan acuh, rindu perhatiannya yang hanya ia balas dengan benci, rindu sabarnya yang hanya ia balas dengan ketidakpedulian. Sekarang, Prilly terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Tak ada lagi perhatian, senyum tipis, bahkan nada suara dari wanitanya yang paling kuat.
Alindra mengusap kasar wajahnya saat air matanya sendiri jatuh ke pipi. Alindra benci menangis, tapi ia lebih membenci dirinya sendiri. Ia bersumpah kalau terjadi sesuatu pada Prilly, Alindra tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.
Tak lama, dokter yang menangani Prilly keluar dari dalam ruang ICU.
"Dok, gimana keadaannya?" tanya Alindra.
"Saya sudah mencoba semaksimal mungkin, Pak. Cuma istri Bapak sendiri yang menolak untuk bangun. Saya heran. Bahkan sekarang istri bapak masih bertahan dalam komanya karena bantuan alat-alat, kalau di lepas kemungkinan besar beliau akan tiada." jelasnya.
"Saya mohon jangan di lepas, dok. Saya akan bayar berapapun asal istri saya nggak kenapa-kenapa. Saya yakin dia bisa bertahan." Alindra meyakinkan hatinya, berusaha tegar padahal tubuhnya sudah gemetar. Sisy yang digendong Bi Mul terus saja menangis, dan Bi Mul sudah mendapat pengobatan tadi.
"Sabar ya, Pak. Banyak-banyak berdoa sama yang di atas." dokter itu menepuk bahu Alindra menguatkan, kemudian pergi meninggalkan Alindra yang masih terlihat frustasi.
"Mama kenapa, pa? Hiks hiks." Sisy berlari menghampiri Alindra, memeluk tubuh ayahnya dengan sangat erat. Kemudian Alindra berjongkok, membalas pelukan Sisy dan menangis bersamaan.
"Selama ini, aku nggak pernah liat mama kalah hiks hiks. Tapi sekarang tante itu mau nyakitin mama lagi.." ucap Sisy lirih.
"Maksud kamu?" tanya Alindra.
"Tante itu terus kejar-kejar Sisy dan mama, dia mau bunuh Sisy sama mama hiks hiks." jelas Sisy.
"Sejak kapan?"
"Sisy nggak tau, pokoknya tante itu mau nyakitin Sisy dan mama dari Sisy kecil dulu. Pas Sisy ulang tahun ke lima, mama mau bawa Sisy ketemu papa, tapi tante itu jahatin mama hiks hiks."
"Ya Allah..."
Alindra benar-benar terpukul dan tambah menyesal mendengar pernyataan ini. Kenapa ia terlalu dibuat buta? Kenapa ia tak mau mendengarkan penjelasan Prilly dan percaya kepada wanita itu sedikitpun? Sekarang apa yang diharapkan? Mengulang waktu? Mustahil.
"Pa.." tiba-tiba Rohan datang masih dengan seragam putih abunya. Ia bingung kenapa papa menyuruhnya datang ke rumah sakit, bahkan saat sampai di sini ia semakin bingung melihat semua menangis.
"Ada apa sih?" tanyanya bingung.
"Mama kamu... koma." jawab Alindra sekuatnya.
"Kok bisa? Kenapa?" tanyanya terkejut tapi masih tetap tenang.
"Papa nggak bisa ceritain sekarang... papa nggak ngerti lagi sekarang hiks hiks." lirihnya.
"Apa yang papa tangisin? Bukannya papa udah belajar ngelepas mama? Sekarang buat apa papa nangisin orang yang udah bikin hidup kita gelap selama sebelas tahun?" Rohan tersenyum miris.
KAMU SEDANG MEMBACA
SORRY
Fanfiction[SELESAI] Maaf. Aku sangat mencintaimu, tapi terkadang aku benci tiap kali ingat bahwa tujuanku adalah untuk balas dendam. Aku benci pada rasa yang seharusnya tidak pernah hidup di dalam detak jantungku. Suara tembakan yang menghantam jantung ibu...