33. Enough.

6.4K 723 70
                                    

Alindra segera membersihkan diri saat tiba di rumah, setelah itu mengecek keadaan Sisy ke kamar gadis itu. Ternyata anak bungsunya kini masih terlelap, rutinitasnya disiang hari tapi tak biasanya sampai menjelang sore, mungkin ia lelah. Ketika keluar dari kamar Sisy, Alindra melihat Rohan baru saja pulang dan langsung masuk ke dalam kamar.

Pria itu bisa melihat bahwa Rohan masih marah kepadanya atas tamparan hari itu, padahal Alindra refleks karena Rohan terlalu egois. Bukan apa, Alindra tak mau Rohan merasakan penyesalan yang berlarut-larut nantinya.

Akhirnya Alindra berniat untuk memulai berkomunikasi lagi dengan Rohan. Hampir sebulan ini, ia jadi jarang mengobrol dengan anak sulungnya itu. Bahkan tidak sama sekali. Alindra berjalan ke arah kamar Rohan, mengetuk pintu dua kali kemudian langsung masuk tanpa menunggu lama.

Dilihatnya Rohan tengah membuka tali sepatu dan menoleh ke arahnya saat Alindra mulai melangkah ke dalam. Rohan mengacuhkan Alindra, tak berucap sepatah katapun.

"Baru pulang?" tanya Alindra dengan perasaan yang sangat canggung.

Rohan tak menjawab, ia lebih memilih membelakangi Alindra sambil membuka kancing seragam putihnya.

"Masih marah sama papa?" Tetap tak ada jawaban juga dari anak laki-laki itu.

Alindra menatap Rohan yang membelakanginya, lalu mendekatinya, menepuk punggungnya, kemudian menariknya agar berbalik dan mengajaknya untuk duduk di tepi ranjang.

"Kamu tau kenapa papa berubah dan mihak ke mama? Karena papa udah tau semua kebenarannya. Papa cuma mau ngajak kamu untuk liat kebenaran, selama ini kamu terlalu dibutain sama egois. Papa juga, tapi papa udah nyadarin semuanya. Papa nggak mau kamu jauh lebih menyesal setelah tau semuanya."

Rohan menatap Alindra dengan sorot mata ambigu. Ingin bertanya apa kebenaran itu, tapi Rohan terlalu membesarkan gengsi.

Akhirnya, tanpa menunggu Rohan bertanya Alindra menjelaskan semuanya. Saat Alindra menceritakan segalanya tentang yang dialami Prilly selama sebelas tahun ini, Rohan merasa seperti ada yang mencabik-cabik perasaannya. Ngilu, menyesal, terkejut, semua menjadi satu. Namun Rohan hanya bisa menunduk malu. Terlalu banyak luka yang ia berikan untuk mama, terlalu minim ia mengenal sosok mama yang selama ini berperan penting dalam hidupnya, terlalu larut hingga ia disesali oleh keegoisannya sendiri.

Setelah Alindra selesai menjelaskan secara rinci, ia menepuk bahu Rohan. Tersenyum lembut seraya meminta maaf atas perlakuan kasarnya bulan lalu.

"Papa minta maaf karena papa udah nampar Rohan waktu itu. Papa cuma mau Rohan sadar, supaya Rohan nggak menyesal lebih jauh lagi kayak papa. Sekarang paham?"

Rohan hanya diam, tak menggerutu tak berdeham. Entah apa yang dipikirkan olehnya. Mungkin penyesalan.

"Kalau Rohan masih terus mau begini, papa nggak pernah larang. Tapi papa cuma mau tanya ke Rohan, kalau Rohan tetep bersikeras benci sama mama karena mama ninggalin Rohan, kenapa Rohan nggak benci sama papa juga karena dulu papa pernah pergi? Papa nggak ada disamping kamu, tapi mama kamu yang ngurus kamu, dia berusaha semampu dia. Apa ini balasan kamu?" tanya Alindra.

"Beda, pa."

"Nggak ada bedanya kok, sama aja. Tapi apa kamu nggak berniat mau tanya kenapa papa dulu pergi? Asal Rohan tau, papa pergi karena papa malu sama diri papa sendiri. Setelah mama kamu nembak papa karena papa ini seorang pemberontak, papa mutusin pergi ke luar negeri untuk mengasingkan diri. Papa kira karena hal itu mama kamu akan tetep benci sama papa, tapi liat, dia terlalu baik. Buktinya mama bisa nerima papa apa adanya, dia berusaha lupain keburukan papa, bahkan berusaha nutupin kebusukan papa dimasa lalu. Supaya apa? Supaya anak-anak papa nggak pernah tau kalau papa ini dulu manusia biadab!" jelas Alindra. Di sudut matanya tergenang berpuluh mililiter air yang siap terjun ke pipinya.

SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang