16.

4.3K 575 34
                                    

Prilly memandangi gaun indah yang terpajang sempurna pada mannequin, di sebelahnya berdiri kokoh mannequin lain yang memanjangkan sebuah jas berwarna navy. Hari ini tepat seminggu menjelang pernikahan Alindra dan Anastasia. Waktu berlalu begitu cepat. Ya, sangat cepat. Sampai-sampai Prilly tidak percaya bahwa setelah hari pernikahan mereka nanti ia harus melanjutkan hidup seolah Alindra tidak pernah ada seperti sebelumnya, walau kenyataan begitu terasa pahit.

Perempuan itu tersenyum kagum memandangi sepasang busana pernikahan yang sejak dulu ia rancang ilusinya. "Anastasia pasti bakalan cantik pakai gaun ini. Apalagi pas gandengan sama Ali yang pake jas ini di red carpet nanti. Pasti serasi," matanya berkaca, tak lama jatuh setetes tirta dari ujung kelopak mata sebelah kanannya. Ada nyeri yang mengganggu detak jantungnya, ada sesak yang menyumbat pernapasannya, ada batu besar yang menghantam dadanya meski kenyataannya tidak ada.

Selama sebulan lebih ini, hubungan Alindra dan Prilly semakin membaik. Mereka semakin dekat seperti sedia kala. Rasa yang ada semakin membengkak, benci kian menghilang, dan ketakutan akan perpisahan terus menghantui hati keduanya.

Prilly berhasil mengempas bencinya, membuang pikiran buruk tentang Alindra. Chandra banyak memberi pengarahan, pengetahuan, salah satunya tentang kehilangan.

Kehilangan memang melahirkan kesedihan, tapi kehilangan juga mengajarkan kita untuk menjaga apa yang masih ada.

"Nak.." pria paruh baya itu memegang pundak Prilly lembut. Dengan cepat, Prilly menghapus jejak air mata di pipinya.

Prilly menoleh ke belakang, "Eh, papa. Kenapa, pa? Mau dibuatin kopi?" tanya Prilly.

"Tidak usah," Chandra menggeleng.

"Terus papa ada keperluan apa turun ke ruang bawah tanah? Tumben," Prilly bertanya.

"Gapapa. Tadi pintu ruang bawah tanah masih terbuka, niatnya sih mau nutup, tapi penasaran karena sudah lama tidak turun," jawab Chandra. Prilly hanya tersenyum singkat, lalu kembali memandang kedua busana pernikahan itu sebelum akhirnya mengajak Chandra untuk kembali ke atas.

Chandra merasa, bahwa putri semata wayangnya sedang tidak baik-baik saja. Dan tentu, ia tahu apa penyebabnya.

"Prisia, lusa papa berangkat ke Kalimantan. Kamu dan Rohan jaga diri ya," kata Chandra. Pria paruh baya itu menjatuhkan pantatnya di atas sofa empuk ruang keluarga. Kemudian di susul Prilly yang duduk di sebelahnya.

"Tugas lagi, pa?"

"Iya. Ada kasus penyelundupan narkoba di sana,"

"Berapa lama?" tanya Prilly lagi.

"Sampai clear!"

"Yah, pasti lama," ujar Prilly tidak semangat.

Chandra tersenyum kemudian mengecup pucuk kepala Prilly, "Biasanya nggak gini. Pasti lagi banyak pikiran ya makanya begini?"

"Nggak kok, pa," jawabnya, bohong.

"Papa tau, kok, tidak usah dipikirin lagi. Papa pernah bilang kan ke Prisia, kalau kehilangan jangan sekali-kali larut sama kesedihan. Kalau Prisia nggak rela dan merasa kehilangan itu manusiawi, kok. Jangan takut sendiri, jangan takut ditinggalkan, karena sudah ada skenario Tuhan yang mengatur. Di dunia ini ada yang datang dan ada yang pergi, dan ingat, yang pergi masih bisa kembali lain waktu.." ucap Chandra.

"Siapa yang merasa kehilangan sih, pa? Papa pikir Prilly sedih ya karena Ali sebentar lagi mau menikah dengan Anastasia? Nggak kok, pa, papa salah, Prilly baik-baik aja. Percaya deh," Prilly tersenyum untuk menunjukkan kepada Chandra bahwa ia bahagia melihat Alindra dan Anastasia akan berbahagia.

SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang