Pada akhirnya, Prilly harus melakukan hal ini juga. Sekarang ia berada dalam perjalanan menuju Dieng dengan mengendarai mobilnya sendiri. Padahal, awalnya ia akan pergi besok, tapi keadaan begitu mendesaknya.
Entah sampai kapan ia terus saja kepikiran pada Rohan yang menangis histeris mengingat tadi anak laki-lakinya itu hampir mengejar mobilnya kalau saja Alindra tak mencegat.
"Li, lepas. Lo mau kan gue bahagia? Jadi tolong, biarin gue pergi," itu permintaannya pada Alindra. Saat itu juga, Alindra melepasnya. Membiarkan Prilly pergi karena perempuan itu berjanji akan bahagia.
Prilly mengusap kasar wajahnya yang terlihat gelisah, tangan kanannya masih setia menempel pada stir mobil. Kepalanya benar-benar pening memikirkan itu semua.
Sekitar pukul sembilan malam, Prilly baru sampai di rumah mendiang nenek dan kakeknya. Rumahnya luas, masih terlihat bagus tapi begitu sepi. Prilly turun untuk membuka gerbang, lalu naik kembali untuk memasukkan mobilnya ke halaman rumah.
Dulu, Prilly main di sini bersama nenek dan kakek. Seperti berkemah, piknik ala-ala di kebun teh, dan bermain masak-masakan. Memang, Chandra anak semata wayang, seperti halnya Prilly. Jadi, dulu Prilly begitu disayang oleh nenek dan kakeknya.
"Mbak Prilly," panggil seseorang. Prilly menoleh, dan mendapatkan seorang pria paruh baya tengah berdiri di gerbang.
"Eh, pakde Joko, kan?" tanya Prilly memastikan bahwa tebakannya benar. Karena Prilly tidak terlalu mengingatnya, sudah sepuluh tahun ia tidak berkunjung ke sini semenjak nenek meninggal. Karena nenek dan kakek dimakamkan di Jakarta.
"Iya, mbak," Joko berjalan menghampiri Prilly, ditangannya ada sebuah rantang aluminium berisi makanan yang dibuatkan oleh istrinya untuk Prilly.
"Den Chandra ngasih tau katanya mbak mau dateng, jadinya Bude Sri buatin Mbak Prilly makanan. Terus tadi pagi pakde juga sudah bersih-bersih rumah kok, mbak. Jadi Mbak Prilly bisa langsung istirahat," jelas Joko.
Joko ini termasuk orang yang begitu berjasa dikeluarga Prilly. Sejak Chandra remaja, ia sudah berada di sini sebagai tukang kebun. Dan istrinya Bude Sri adalah pembantu rumah tangga. Sejak nenek meninggal, mereka yang menjaga rumah nenek. Untuk itu, Chandra masih mengirimkan sepasang suami-istri itu uang tiap bulan. Karena sumber penghasilan mereka hanya dari Chandra.
"Duh jadi ngerepotin deh, hatur nuhun ya, pakde," ucap Prilly.
"Ndak usah bilang makasih mbak, kan mbak sudah seperti anak pakde dan bude. Lagipula ini juga sudah tugas pakde. Dulu kan, mbak sering pakde gendong sambil ajak ke kebun teh kalau lagi main ke sini hehehe," kata Joko.
"Oh iya, gimana kabar kebun teh punya kakek, pakde?" tanya Prilly.
"Alhamdulilah baik-baik saja, mbak. Yowis, pakde duluan ya, mbak. Pasti bude nungguin di rumah,"
"Iya-iya, pakde. Kalau sempet ajak bude main ke sini yaa,"
"Siap, mbak!"
***
Prilly duduk di kursi yang menghadap ke muka pegunungan, kebun teh yang terhampar indah terlihat segar ditangkap mata. Dingin, bahkan teh panas yang Prilly buat hampir mendingin pula. Ditambah lagi sepi, membuat dingin itu makin terasa.
Hampir sebulan ia melainkan rutinitas membosankan ini. Chandra belum pulang juga, katanya kasus itu belum berujung.
Tiba-tiba, fatamorgana hidup diantara hijaunya kebun teh.
"Prisiaaa jangan lari, nanti jatuh!" teriak Yona.
"Pa itu anaknya lari-lari, nanti ke sandung batu aja!" timpal Yona.
KAMU SEDANG MEMBACA
SORRY
Fanfiction[SELESAI] Maaf. Aku sangat mencintaimu, tapi terkadang aku benci tiap kali ingat bahwa tujuanku adalah untuk balas dendam. Aku benci pada rasa yang seharusnya tidak pernah hidup di dalam detak jantungku. Suara tembakan yang menghantam jantung ibu...