6. Revenge.

4.5K 463 16
                                    

Sinar mentari menyorot melalui sela gorden hingga membuat dua orang yang masih pulas tertidur mengerutkan wajahnya. Setelah membuka mata sempurna, gadis itu bangun dan menoleh mencari sebuah jam.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, padahal hari ini ia ada mata kuliah pagi dan kelas di mulai pukul tujuh. Tapi, bukan hal ini yang membuatnya terkejut, melainkan melihat tubuhnya dari pantulan kaca.

Prilly mengacak rambutnya frustrasi. Melihat wajah damai Alindra yang masih tertidur pulas membuat dadanya terasa nyeri. Tiba-tiba air matanya pecah, lalu ia mulai memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai kamar Alindra. Setelah mengenakannya dengan baik, ia pergi tanpa pamit.

***

Chapter 5

Hari ini tepat satu minggu setelah kejadian itu. Ada sesuatu yang membuat Prilly berduka, bahwa hari ini adalah pertemuan terakhirnya dengan Alindra.

Sejak semalam Prilly tak bisa menyembunyikan air matanya, ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ia juga mencintai Alindra. Tapi Prilly tidak bisa, benar-benar tidak bisa. Dan ia berjanji akan membuat pertemuan terakhir mereka tidak akan pernah dilupakan oleh Alindra, juga dirinya. Prilly juga akan memberikan jawaban untuk Alindra, dan Prilly harap ia bisa jujur.

"Halo?" Prilly memulai pembicaraan setelah ponselnya telah terhubung ke panggilan.

"Halo, Pril.."

"Lo berangkat kapan?"

"Jam empat. Lo kapan mau kesini? Atau gua yang ke rumah lo?"

"Ng-nggak usah, Li. Nanti kita juga bakal ketemu kok, gue bakal kasih jawaban ke lo. Dan gue janji, pertemuan terakhir kita nggak akan pernah bisa lo lupain.." kata Prilly sambil menyelipkan sejumput senyum teka-teki.

"Ohh lo mau ke bandara nih ceritanya? Mau kasih gue hadiah supaya so sweet hahaha," Alindra tertawa di sana.

Prilly hanya tersenyum simpul mendengar tawanya. Tawa yang ingin sekali Prilly hentikan sejak dulu.

***

"Ayo kita berangkat sekarang!" perintah Gerald sambil menarik koper hitam berukuran besar miliknya.

"Kenapa kita harus ke luar negeri sih, pa?"

"Di sini sudah tidak aman. Sebelum identitas kita terbongkar, ada baiknya kita ke luar negeri,"

Alindra tidak bisa menentang Gerald lagi, ia hanya bisa mengikuti kemauan Gerald yang akan segera pergi ke Austria bersama dengan kelompok pemberontak lainnya yang tersisa.

Dengan berat hati Alindra masuk ke dalam mobil, bahkan saat mesin mobil menyala hatinya ikut bergetar karena ada yang ia beratkan.

Sepanjang jalan pemuda itu terus saja diam. Bukan hanya Alindra, yang lain pun tidak ada yang berbicara kecuali suara radio yang juga menyiarkan mengenai pemberontakan mereka.

Jalan tol terlihat sepi, hanya ada beberapa mobil yang berlalu-lalang. Gerald yang sedang mengendarai mobil baru saja tersadar, bahwa sejak tadi ada mobil yang membuntuti mereka. Untuk itu Gerald mempercepat lajunya, membuat beberapa mobil yang tadi membuntuti mereka juga mempercepat lajunya.

SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang