Perdebatan #2

1.1K 31 0
                                    

Egi POV
Aku saat ini baru selesai mencuci pakaian, dan membersihkan rumah. Aku menunggu kedatangan Aisyah. Dari pesan terakhirnya dia bilang akan sampai sekitar 10 menit. Aku melihat jam di layar Hpku. Harusnya kekasihku itu sudah sampai, tapi kenapa dia belum sampai. Aku mengambil Hpku dari atas meja, ingin menanyakan keberadaannya. Baru saja aku mengetikkan kalimat. Aku mendengar suara gadis yang sangat aku kenal mengucap salam, suara yang lemah lembut itu. Aku menoleh dan menjawab salamnya. Aku tersenyum, menyuruh ia masuk ke dalam rumah. Wajahnya terlihat lesuh dan tidak bersemangat, dan ia pun terlihat sedikit pucat. Aisyah duduk sedikit jauh dari tempatku. Aku merasa Aisyah masih marah. Aku mencoba mendekat, dan memeluk tubuh mungilnya. Tapi dia berusaha melepaskan pelukanku.

"Kamu kenapa dek? Abang cuma mau peluk kamu. Gak mau?" Aku mencoba memasang wajah memelasku. Berharap dia akan luluh.

"Kenapa Abang suruh aku kesini?" Tanya Aisyah membuat aku merasa tak enak, dia pasti masih marah. 

"Cccuuuppp" aku mengecup keningnya lama. Aku menggenggam tangannya dan meminta maaf atas perdebatan semalam. Aisyah hanya mengangguk.  Aku memohon agar ia tersenyum semanis mungkin, agar aku percaya bahwa ia sudah tak marah. Jujur aku takut jika wanita ini marah, aku takut jika ia marah maka ia akan nekad menceritakan semua yang telah aku perbuat selama ini padanya kepada keluargaku atau Icha.

Author POV
Aisyah lebih banyak diam hari ini, Egi merasa risih dengan situasi ini. Ia memilih memainkan gadgetnya, begitupun Aisyah yang sibuk dengan benda persegi panjang tipis itu. Beberapa kali Egi melihat Aisyah menahan kantuk. Egi menawarkan agar Aisyah tidur sejenak untuk menghilangkan kantuknya, tapi Aisyah menolak dan menatap Egi curiga. Egi pamit keluar membeli makan siang, saat itu rasa kantuk Aisyah tak tertahan sehingga Aisyah memilih tidur dalam posisi duduk. Aisyah tipe gadis pelor. Tak mengenal tempat jika kantuk sudah tak tertahan dalam posisi dudukpun ia bisa tertidur dan mudah terbangun.

Melihat Aisyah duduk dalam posisi wajahnya ia sembunyikan diantara kedua lututnya, Egi membangunkan Aisyah perlahan mengajak Aisyah untuk makan. Wajah Aisyah semakin terlihat pucat, namun ditolak secara halus oleh Aisyah. Dan ia memilih tidur. Melihat Aisyah seperti itu Egi merasa tidak tega, dan merebahkan tubuh mungil Aisyah di atas kasur lantai yang ada di ruang tengah. Saat Aisyah tertidur Egi menatap lekat wajah Aisyah. Wajahnya teduh, namun masih terlihat raut kesedihan di wajah itu. Bahkan disaat tertidurpun Aisyah meneteskan air matanya. Sebesar itukah luka yang telah ia torehkan di hati gadis yang berjuang sendiri dijalan Allah ini? Egi merutuki dirinya sendiri bodoh atas apa yang ia perbuat.  Ia berbaring disamping Aisyah memeluk erat tubuh Aisyah, membuat Aisyah terkejut dan segera mendorong tubuh Egi. Saat itu aisyah menatap Egi kecewa. Egi mencoba menenangkan Aisyah, namun tangannya di hempaskan oleh Aisyah. Saat itu Egi melihat bekas luka yang belum terlalu kering di dekat pergelangan tangan Aisyah. Dua sayatan. Egi menarik kasar tangan kiri Aisyah dan menyibak lengan gamis Aisyah. Aisyah mencoba menarik tangannya. Tapi sia-sia karena tenaga Egi lebih kuat dari tenaganya.

"Apa ini dek? " Tanya Egi dengan tatapan menuntut kejujuran Aisyah. Aisyah yang tau arti tatapan itu hanya menunduk.

"Sekali lagi Abang tanya. INI APA MAKSUDNYA? HAH?!" Aisyah terperanjat mendengar suara Egi yang penuh emosi dan penekanan. Aisyah menajamkan matanya menahan amarah dan airmatanya. Tapi lagi, Egi memaksanya.  Dan menuntut jawaban.

"APA PEDULI ABANG? ABANG SUDAH DAPETIN YANG ABANG MAU. ABANG UDAH NIKMATIN KEHORMATAN AKU SECARA GRATIS, DAN ABANG BILANG ABANG GAK YAKIN KALO AKU MASIH PERAWAN WAKTU NGELAKUIN ITU SAMA ABANG. APA PEDULINYA ABANG KE AKU? AKU CUMA PEREMPUAN GAK GUNA, MURAHAN, RENDAHAN, LEBIH RENDAH DARI PELACUR SEKALIPUN.!" PLAAAAKK..
Tanpa sengaja Egi menampar pipi mulus Aisyah, airmata meluncur deras dipipi yang kini sudah memerah bekas telapak tangan Egi. Aisyah menangis sesenggukan, ia ingin berlari segera dari tempat ini. Tapi kakinya begitu lemas untuk berdiri, kejadian dimana Aisyah kecil pernah di pukul sang ayah menggunakan kayu balok teringat.

Aisyah menatap benci ke arah Egi yang masih mematung akan apa yang barusan ia perbuat. Ia masih tak percaya ia telah melukai gadis lemah di depannya itu. Egi tak tahan dengan tatapan Aisyah. Aisyah memegangi pipinya yang kini terasa panas, dadanya masih sesak. Airmata masih terus meluncur.

"Aku benci Abang. Aku benci Abang."  Kata-kata itu terus terucap, Egi berusaha menenangkan Aisyah. Ia menarik paksa Aisyah kedalam pelukannya. Ia mengecup lama kening Aisyah. Tanpa diketahui Aisyah, Egi menangis menyesali kekhilafannya menampar pipi Aisyah. Aisyah masih berceloteh ia benci pada Egi dan benci pada ayahnya.  Egi memejamkan matanya dan terus meminta maaf pada Aisyah. Tak lama tangis Aisyah meredah, beriringan dengan melemasnya tubuh Aisyah. Egi mencoba mengguncang tubuh Aisyah, tapi sia-sia. Mata gadis itu terpejam erat. Egi mengangkat tubuh mungil Aisyah dan merebahkannya di kasur lantai. Ia mencoba melonggarkan Khimar yang dipakai Aisyah.

Tangannya kembali membuka lengan gamis yang d pakai Aisyah. Egi kembali menangis begitu terlukanya Aisyah. Tapi karna kebodohan dirinya Aisyah justru lebih terluka lebih dalam lagi. Egi mengecup kening, pipi, dan bibir Aisyah. Ia bersiap-siap untuk shalat ashar.

Egi POV
Aku baru saja melaksanakan shalat ashar. Aku teringat Aisyah yang kutinggalkan dalam keadaan pingsan. Pingsan akibat ulahku. Aku gerakkan kakiku menuju rumah, karna saat ini aku shalat di masjid. Aku melihat Aisyah masih terpejam, aku mengelus kepalanya lembut. Begitu berdosanya aku, aku sudah mengahancurkan masa depan gadis ini. Aku melihat mata Aisyah bergerak, dia sudah bangun. Kubantu dia untuk minum.

Saat itu Aisyah menatapku dengan benci, aku meminta maaf padanya. Dan ia hanya mengangguk. Aisyah begitu pintar menutupi sakit hatinya. Buktinya sekarang ia bersikap seperti tidak ada apa-apa, meski begitu aku tau ia begitu terluka akibat ulahku. Aku membelai pucuk kepala Aisyah yang tertutup Khimar. Ia begitu menjaga auratnya, tapi kebodohanku telah membuat ia terjerumus dalam dosa zina besar. Aisyah melirik kearah nasi bungkus yang aku beli sebelum perdebatan hebat tadi. Aisyah menatapku penuh tanda tanya, aku kembali menatap mata sendu itu.

"Abang belum makan?" Tanya aisyah, suaranya terdengar serak dan berat khas baru bangun tidur. Aku menjawab dengan gelengan dan senyuman. Aku kembali menariknya dalam dekapanku. Aku meminta maaf, atas segala perbuatanku. Aku merasakan Aisyah mengangguk pelan. Dan meminta aku berjanji akan selalu ada untuknya. Saat itu aku berjanji akan selalu bersamanya. Aku melihat Aisyah tersenyum mendengar jawabanku. Aku sedikit merasa lega melihat Aisyah kembali tersenyum.

Cerita Kelam AisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang