Aku menuruni tangga dengan tergesa, ini adalah pagi yang menyebalkan. Telat bangun di hari senin bukanlah hal yang patut dibanggakan. Langkahku berderap dengan suara cukup keras. Sekilas aku melirik jam di dinding ruang tengah dan terbelalak melihat pukul setengah tujuh pagi sudah terpampang di sana. Ini bencana! Perjalanan menuju ke sekolah membutuhkan tiga puluh menit. Akan ada upacara bendera pagi ini, selaku wali kelas sudah tugasku untuk mengatur bocah-bocah lucu yang selalu memanggilku ibu guru itu.
"Sayang sarapan dulu."
Aku memejamkan mata, sedikit meringis saat akhirnya menoleh ke arah ruang makan di mana sekarang mama sudah duduk, bersama Taksa dan Bayanaka. Wajah mama lebih pucat dari biasanya, aku pun tak buta untuk bisa melihat bahwa kini, ia kehilangan beberapa pon berat badan.
Mama tampak agak ragu saat aku memasuki area ruang makan. Tentu saja karena selama ini, aku berusaha menjaga jarak dengan dua manusia, yang terlahir dari rahim wanita yang berstatus ibu tiriku. Kepalaku langsung berdenyut sakit saat kata 'ibu tiri' terlintas di kepalaku. Aku yakin bahwa tidak ada anak di dunia ini yang pernah berharap memiliki ibu tiri.
Setelah pembicaraan dengan Osha beberapa hari lalu, hampir setiap malam aku kesulitan beristirahat. Berbagai pertanyaan tentang alasan sebenarnya Bayanaka berada di rumah ini, menjadi penghalangku untuk bisa terlelap.
"Hira sudah telat, Ma." Aku menarik sebuah kursi dan mendudukinya. Berbicara pada orang tua dengan posisi berdiri adalah tindakan yang tidak sopan. "Nanti saja di kantin sekolah."
"Tidak baik membiarkan perutmu kosong." Mama mengisi piring untukku. "Makanlah sedikit. Murid-muridmu terlalu kecil untuk mengerti, bahwa Ibu Gurunya kelaparan dan tidak bisa menangani mereka dengan baik."
Aku meraih piring yang disodorkan mama, berusaha mengabaikan Bayanaka yang duduk di sampingku. Sungguh aku sama sekali tak berniat untuk bisa berdekatan dengannya, tapi Taksa yang kini sudah duduk di samping Mama jelas tak memberi pilihan. Kursi papa memang kosong tapi aku tak pernah ingin untuk menempatinya. Di sudut hatiku menyadari, bahwa tempat itu tidak boleh diisi siapapun, termasuk anaknya sendiri.
Ini tidak seperti biasanya, Bayanaka tidak membuka suara meski aku ada di sampingnya. Bahkan Taksa hanya memandangku dengan mata berbinar meski bibirnya tak berkata sama sekali. Mama pun demikian, kami semua makan dalam diam. Hanya terdengar beberapa kali mama menanyakan Taksa apa mau menambah nasi atau tidak. Membuatku bertanya-tanya apa yang salah pagi ini?
Memutuskan tak peduli, aku pamit pergi setelah nasi di piringku tandas. Aku mencium tangan mama sebelum beranjak.
"Aku akan mengantarmu!"
Aku baru saja menginjak halaman rumah saat seruan Bayanaka terdengar. Lelaki itu kini setengah berlari ke arahku.
"Tidak perlu."
"Kamu akan terlambat."
"Bukan urusanmu."
"Bisakah kita tidak berdebat?"
"Bisa, tentu saja, jika kamu tidak mengajakku berbicara."
Ada raut putus asa di wajah Bayanaka melihat kekeras kepalaanku. Aku hendak berbalik pergi saat dengan berani ia mencekal lenganku.
"Aku akan mengantarmu."
"Aku tidak mau. Apa kamu tuli?"
"Motorku ada di sana."
Bayanaka menunjuk ke arah garasi rumah, di mana sebuah motor gede Yamaha tipe R25 Movistar terpakir di sana, jenis motor yang membuat pinggangku terasa akan patah, jika duduk dengan posisi menyimpang. Jelas bukan pilihan menarik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Akhir
Romance(Sedang dalam Proses Penerbitan dan sebagian part sudah dihapus). Pemenang Wattys2019 kategori Romansa. Sinopsis Aarunya Hira Mahawira selalu merasa hidupnya sempurna. Ia dikelilingi cinta yang melimpah tanpa batas. Tertanam jelas di kepala bahwa ia...