TITIK AKHIR XXVI

32.9K 5.1K 563
                                    

Part ini khusus buat Made YuliEmbeem yang besok nyepi. Semangat made💪💪💪💪

#HIRA_NAKA

🍃🍃🍃🍃🍃

Aku mengucek mata, lalu mengusap wajahku. Mengambil napas dalam sebelum bangun dari tempatku berbaring. Aku berdiri di pinggir tempat tidur, menatap Taksa yang tampak pulas. Bocah itu, malam ini kembali tidur bersamaku, mengenggam erat tanganku sepanjang malam sebelum aku melepaskannya tadi.

Aku haus dan lupa menyediakan air minum. Sekarang aku harus ke dapur untuk mengambil segelas air agar bisa melanjutkan tidur. Dengan langkah perlahan aku membuka pintu dan berjalan menuju dapur rumah Bayanaka.

Decakanku tak bisa kutahan saat mengetahui poci besar di atas meja makan kosong. Menjelajahi rumah atau dapur orang bukanlah hobiku, aku tidak seusil itu, tapi rasa haus mendorongku membuka kulkas, mengambil sebotol air dingin di dalamnya. Aku tidak pernah bersahabat dengan air dingin, rasa tidak nyaman langsung menyerang tenggorokanku begitu cairan bening itu masuk. Aku mengusap leher, merasa tidak nyaman. Seharusnya aku meminta mama memasakkan air untukku seperti yang ia lakukan di rumah. Sebenarnya aku bisa melakukannya sendiri, tapi ini bukan rumahku, bukan dapur mama dan tidak ada bi Maryam yang mondar-mandir di sini. Jadi ada rasa sungkan yang menghalangi setiap pergerakanku.

"Apa hiasan kulkasnya sangat bagus?" Aku terlonjak dan segera berbalik saat mendengar bisikan itu di telingaku. Lalu menatap sengit pada Bayanaka yang kini sedang menatapku geli dengan alis terangkat.

"Kamu mengagetkanku!"

"Justru kamu yang mengagetkanku, berdiri di depan kulkas, di dapur yang gelap dengan rambut terurai seperti itu. Sungguh tadinya aku berpikir kamu hantu, atau ruh bundaku," elakknya.

"Tidak ada ruh orang meninggal yang akan berkeliaran!" sergahku kesal melihat Bayanaka yang tak tampak bersalah. Sungguh jarak kami yang terlalu dekat, dengan tubuh tingginya yang menjulang ditambah kekagentanku karena bisikannya barusan, belum bisa membuatku bernapas dengan normal.

"Aku tahu, tapi kamu pernah mendengar beberapa cerita seram bukan?"

"Aku tidak tahu mengapa harus meladenimu, cerita seram atau apa pun yang ingin kamu bahas sama sekali tak membuatku tertarik. Sekarang minggir! Aku mau kembali ke kamar." Aku berusaha mendorong tubuh Bayanaka, tapi lelaki itu bergeming. Memilih menatapku dalam, membuatku terserang canggung seketika.

"Mau kubuatkan minuman hangat?" Pertanyaan Bayanaka membuat tanganku terhenti di dadanya, merasakan debaran hebat di sana, terasa aneh.

"Aku sudah minum."

"Tapi kamu tidak bisa minum air dingin, tenggorokanmu sering terasa kering bukan? Biar kubuatkan madu hangat, tunggulah di sofa sebentar."

Ucapan Bayanaka membuatku terpaku, hingga tidak menyadari bahwa lelaki itu menggenggam tanganku yang berusaha mendorongnya dadanya sejak tadi, memberi remasan sebelum kemudian melepaskannya.

Seharusnya aku kembali ke kamar, tapi kakiku seperti tak menghiraukan perintah otakku. Dan kini aku berakhir duduk di sofa yang dijadikan tempat tidur Bayanaka selama aku berada di rumahnya. Bukan perasaan tidak enak yang muncul karena menyadari bahwa Bayanaka merelakan kamarnya untukku, melainkan perasaan sedih yang menelusup saat melihat figura yang tergeletak di bawah bantal Bayanaka. Figura berisi dua manusia dalam sebuah potret yang terlihat cukup usang, menandakan seberapa lama potret ini telah diambil.

Potret Bulan dan Bumi, orang tua Bayanaka.

Aku mengetahuinya karena melihat potret dua manusia ini di ruang tamu kediaman Bayanaka. Potret besar serupa tertempel di salah satu dindingnya.

Titik AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang