TITIK AKHIR XXXVI

26.7K 4.6K 353
                                    

Aku donk update cerita baru di aplikasi STORIAL.CO. Ini kisah tentang Rimba Cakrawala dan Andhara. Mampir yaaa😊😊

Mama meletakkan ayam crispy yang masih mengepul di atas meja makan, lengkap dengan saus tomat yang diletakkan dalam wadah saus kecil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mama meletakkan ayam crispy yang masih mengepul di atas meja makan, lengkap dengan saus tomat yang diletakkan dalam wadah saus kecil. Mama memasak ayam crispy, tumis kangkung, telur puyuh balado, dan menggoreng krupuk udang sebagai tambahan. Semuanya masih mengepulka asap, menandakan bahwa mama baru saja selesai memasak.

Aku  turun makan siang, setelah berganti pakaian. Tadi saat bermaksud mebantu Taksa, bocah itu sudah mengganti baju kaus dan celana selutut miliknya lalu berganti pakaian sendiri. Aku tahu harus mengecek lemari bocah itu nanti, untuk memastikan lipatan bajunya tidak berantakan kembali.

"Taksa mau yang dada atau paha saja?" tanya mama setelah mengambil tempat duduk di kursinya.

"Dada, Tante."

"Kenapa tidak pahanya? Upin Ipin suka paha ayam lho."

Aku menatap mama dengan kening berkerut, sejak kapan mamaku tahu tentang film animasi kesukaan anak-anak dari negeri jiran itu?

"Aksa kan bukan Upin Ipin, lagian dada ayam lebih banyak dagingnya dari paha," jawab Taksa kalem, membuatku dan mama terkekeh. Astaga cara dia menjawab dan jawaban yang diberikannya, jelas membuktikan bahwa dia adalah bocah yang menggunakan otak dengan baik, mana yang lebih menguntungkan meski tidak terlalu menarik dari segi bentuk.

"Mau dua atau satu?"

"Satu aja, nanti nggak habis."

"Oke," balas mama lalu meletakkan satu dada ayam di piring Taksa. "Nggak mau sayur?"

"Mau, Tante."

"Hebat, Kak Hira dulu saat kecil tidak suka sayur, kalau Tante masak sayur, Kak Hira cuma mau kuahnya saja."

Aku mendesah, haruskah mama menjabarkan 'aib' itu pada Taksa?

"Tapi sekarang suka kan, Kak Hira?" Taksa bertanya padaku, dan aku hanya membalas dengan anggukan. "Nggak papa kok, Kak Hira, nggak usah malu gitu. Kak Naka juga nggak suka makan sayur dulu. Bunda yang bilang. Bunda masak sayur, Kak Naka juga ambil kuahnya doang, dikit-dikit banget, biar Bunda nggak ngomel aja, jadi Kak Hira nggak sendiriannya nggak suka sayur."

Desahanku semakin besar mendengar kata bijak Taksa. Bocah itu sama sekali tak menghakimi, wajahnya begitu tenang dengan  senyum permakluman yang sangat tidak lumrah dipasang bocah seumurannya. Kenapa semakin hari Taksa semakin mirip papa?

"Tapi tidak boleh dibiasakan lho, Nak. Dari kecil tidak suka sayur, nanti saat besar juga sulit makan sayur. Sayur itu bagus sekali untuk tubuh kita." Mama tersenyum lembut pada Taksa.

"Iya, Tante. Makanya Aksa suka makan sayur, lagian nggak ada Bunda yang bakal ngomelin buat ngingetin Aksa kalo nggak mau makan sayur."

Ucapan terakhir Taksa membuatku dan mama tertegun. Kadang kalimat yang dilontarkan bocah ini mengandung makna tersirat yang begitu memilukan. Aku menunduk menatap piringku, berusaha untuk tidak menatap Taksa yang masih memasang senyum sendunya pada mama.

Bocah ini diumur sekecil ini sudah paham tentang kehilangan yang ia alami, yang harus diterima. Namun, tak sekalipun ia pernah merengek, menangis berlebihan atau meratap kehilangan seperti anak-anak seumurannya. Bahkan setelah penguburan bundanya, Taksa sama sekali tak pernah bertanya apapun, seperti kemana bundanya pergi atau kenapa tidak menemaninya seperti anak-anak lain.

Aku ingat tadi pagi  waktu pulang sekolah, mendapati Taksa duduk di bangku depan ruang kelasnya, menatap anak-anak yang sedang dijemput dan pulang bersama ibu mereka. Tatapan Taksa tampak kosong, dan tatapan kosong bukan hal yang baik untuk anak berusia lima tahun. Saat aku mendekat, Taksa sedikit terkejut, tapi berusaha tersenyum ceria. Membuatku menyadari bahwa di umur sekecil ini, ia sudah berusaha memendam duka, meredakan kerinduan, bocah ini seakan berusaha membangun benteng untuk hatinya di balik senyum dan sikap tenang yang ia tunjukkan.

Tidak ada seorang anak pun yang siap kehilangan ibunya, pikiran itu membuatku tersentak kecil. Aku mengangkat wajah dan menatap mama yang kini sudah mulai meminta Taksa berdoa setelah meletakkan sesendok sayur kangkung di piring bocah itu. Iya, tidak ada anak yang siap kehilangan ibunya, termasuk aku. Semarah dan sekecewa apapun aku pada mama, aku tidak pernah bisa membayangkan hidupku di masa depan tanpa mama. Kehilangan papa sudah menjadi hal yang sangat buruk, dan berpikir bahwa mama tidak di sampingku merupakan hal yang sangat menakutkan. Jadi kenapa aku tidak berusaha menekan ego? Mengendalikan amarah? Meredakan kekecewaanku? Bukankah Bayanaka mengatakan bahwa kesalahan orang tua kami tidak akan sebanding dengan pengorbanan dan ketulusan mereka dalam membesarkan kami?

Aku mengambil napas besar, lalu menatap mama dengan seyum pada bibirku yang bergetar. "Mama... Hira mau sayur juga."

Tbc

Love,

Rami

Dikit aja dulu... aku kurang enak badan pagi ini😷
Mudahan aku cepet baikan ya, biar bisa nulis lagi😢

Ada yg mau double update?

Aksa yang bijak kayak Papa

Aksa yang bijak kayak Papa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tuan Putri yg ternyata dulu gk suka sayur

Tuan Putri yg ternyata dulu gk suka sayur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Kak Naka gk boleh  cemberut, part depan ya muncul ne

Kak Naka gk boleh  cemberut, part depan ya muncul ne

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Titik AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang