TITIK AKHIR XLVI

34.5K 4.4K 229
                                    

Maaf ya aku telat update. Hari ini keluargaku dapet musibah kematian😢 dan maaf juga kalo part ini gk maksimal, aku nulis gk fokus, tapi karena udah janji aku berusaha tepati 🙏🙏🙏

Begitu turun dari mobil, aku langsung memasuki rumah, meninggalkan Bayanaka yang kini memiliki tugas untuk memasukkan keranjang dan tikar piknik kami, tak lupa beberapa kantung berisi baju kotor dan baju gantinya bersama Taksa.

Sepanjang perjalanan kami diliputi kebisuan. Tak sekalipun Bayanaka membuaka suara, seolah ingin memberiku waktu untuk menenangkan diri. Hal itu cukup membantu, karena dalam keadaan tertekan dan emosi seperti ini, aku bukan lawan bicara menyenangkan.

Sepanjang perjalanan pun kepalaku diisi oleh berbagai skenario yang mungkin sedang dilakukan tante Pian untuk menjatuhkanku di depan kakek, pun dengan apa yang akan terjadi kedepannya. Sungguh aku tak menyangka, bahwa akhirnya aku akan berada disisi bersebrangan dengan tante Pian.

Aku tahu bahwa selama ini, aku bukanlah keponakan favoritnya, tapi menjadi lawannya juga tak pernah terlintas di dalam kepalaku. Bukannya aku gentar atau takut, hanya saja bertikai dengan keluarga itu bukan hal menyenangkan.

Keluarga adalah sebuah tempat kasih sayang disebarkan. Dan ketika bibit dengki dan hasut mulai merayapi, maka keutuhan keluarga itu selalu menjadi tumbal pada akhirnya. Aku tidak ingin keluarga Mahawira berantakan. Sudah cukup banyak masalah yang terjadi di masa lampau, baik karena keputusan papa menikahi mama, maupun keputusan mama yang meminta papa melakukan pernikahan rahasia dengan wanita yang tak lain adalah mantan menantu keluarga Danadyaksa. Karena itu hubunganku dengan Bayanaka hanya akan menjadi salah satu daftar masalah dikemudian hari.

"Sudah pulang? Kok sore sekali, Sayang?" Mama menyambutku di depan pintu, mengulurkan tangan untuk meraih Taksa yang masih terlelap dalam gendonganku. Bocah ini sepertinya benar-benar kelelahan, hingga tak sekalipun membuka mata semenjak jatuh tertidur.

"Iya, Ma. Taksa keasyikan main air." Aku memilih jawaban aman. Menceritakan insiden dada Bayanaka yang terluka dan  pertemuan dengan tante Pian hanya akan menambah pikiran mama. "Biar Hira saja yang menidurkan Taksa. Tolong Mama bantu Naka saja memasukkan perlengkapan pikniknya."

"Oh, ya sudah. Tapi nanti kalau menindurkan Taksa, jangan lupa ganti bajunya ya. Lap juga badan Taksa pakai tisu basah. Kasihan kalau dia harus tidur dengan pakaian yang sama, belum lagi keringat pasti menganggu."

Sebenarnya Taksa sudah mandi dengan sangat bersih saat di bilik bilas di pantai tadi, tapi aku sedang tidak ingin memperpanjang obrolan. Kelelahan membuatku hanya mengangguk singkat pada mama dan langsung berjalan ke arah kamar Taksa.

Aku membaringkan Taksa di atas tempat tidur, dengan sangat perlahan mengatur posisi kepalanya  agar nyaman di bantal. Lantas aku membuka sandal berpergian miliknya, meletakkan di rak sepatu. Setelah mengambil piyama di lemari dan sekotak tisu basah, aku langsung menuju tempat Taksa berada. Membuka baju Taksa perlahan, dan mulai mengelap bagian dada, ketiak, lengan, leher, lalu punggung bocah itu dengan tisu basah.

Butuh sekitar sepuluh menit hingga akhirnya Taksa sudah mengenakan piayamanya dengan sempurna. Tak lupa aku menarik selimut hingga batas dada, agar Taksa tak kedinginan. Lalu menyalakan lampu tidur di samping nakas, untuk kemudian mematikan lampu kamar yang stop kontaknya berada di dekat pintu.

Namun langkahku terhenti saat melihat Bayanaka yang kini sudah berdiri di ambang pintu, menatapku dengan tangan yang disedekapkan. Banyaknya pikiran yang berkecamuk di kepalaku membuat aku tak menyadari kehadiran Bayanaka yang pasti sudah berada di sana semenjak tadi, mengamati aktivitasku merawat Taksa tanpa suara.

Aku menghela napas panjang ketika akhirnya memutuskan untuk mendekat. "Aku ingin lewat, " ucapku pada Bayanaka yang seolah terpaku di ambang pintu.

Titik AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang