Ini adalah perjalanan yang sangat menegangkan dan sama sekali tidak menyenangkan. Bayanaka bukanlah driver yang bisa membuatmu duduk nyaman diboncengan. Ia mengendarai motor dengan kecepatan di atas rata-rata, di siang hari saat lalu lintas padat.
Entah sudah berapa banyak kendaraan yang ia salip, aku yang semenjak tadi berusaha tabah dan terlihat kuat dengan memilih tidak berpegang padanya, menyerah. Aku mencengkram jaket Bayanaka di bagian pinggang, membuat lelaki itu sedikit bergerak tidak nyaman. Setidaknya dia harus bersyukur, kukuku tidak panjang yang bisa meninggalkan bekas di kulitnya karena terlalu kuat mencengkram.
Aku baru bisa bernapas lega saat ia memasuki pelataran parkir sebuah rumah makan, membuatku turun tergesa dan sedikit sempoyongan.
"Hati-hati," ujarnya dengan senyum yang membuat kepalaku terasa akan berasap.
"Kamu yang harus hati-hati!" Aku berseru kesal, sambil menunjuk-nunjuk dadanya.
"Aku sudah hati-hati, buktinya kita sampai di sini dengan selamat." Kerutan di kening Bayanaka membuat ketegangan yang belum sepenuhnya reda dariku, semakin memuncak.
"Ini terakhir kalinya aku mau menaiki sepeda motormu!"
"Kenapa?"
"Karena kamu adalah pengendara paling buruk semuka bumi!"
"Hey aku punya SIM, kamu mau lihat?" Aku baru saja akan menyemburkan emosi kembali, saat melihat senyum geli tersungging di bibir Bayanaka setelah menyelesaikan kalimatnya. Sial! Aku terpancing lagi.
"Jangan bicara denganku lagi!" ucapku ketus dan langsung memalingkan wajah. Sadar betul bahwa telah menarik perhatian beberapa orang yang juga sedang parkir.
Aku menyapukan pandangan dan menyadari bahwa sedang berada di salah satu rumah makan yang menawarkan menu tradisional.
"Untuk apa kita kesini?" Aku bertanya kesal pada Bayanaka yang kini memandangku sekilas, setelah menaruh helm di kepala motor. "Aku bertanya, untuk apa kita ke sini? Apa kamu tidak mendengar?"
"Aku bisa mendengar tapi tadi kamu melarangku bicara, aku hanya mengikuti perintamu, Tuan Putri," jawaban Bayanaka membuatku kehilangan suara. Aku memilih berbalik menuju jalan raya dari pada menghadapi lelaki ini. Hanya saja baru beberapa langkah, lelaki itu sudah mencekal lenganku dan membalik tubuhku dalam satu sentakan.
"Baiklah aku minta maaf. Aku berjanji tidak akan membuatmu kesal lagi. Serius." Aku membuang napas keras sebelum menyentak cekalan Bayanaka di tanganku. "Aku janji," ucapnya kembali.
"Aku ingin pulang."
"Sama."
"Jika begitu kenapa kamu membawaku ke sini?"
"Aku lapar."
"Itu bukan urusanku."
"Aku tidak bisa tenang mengendarai motor dengan perut keroncongan."
"Aku tidak peduli."
"Kamu mulai menyebalkan lagi, Hira."
"Aku tidak butuh penilaianmu."
Aku mengira Bayanaka akan kembali bersuara. Namun lelaki itu malah menatapiku seksama, sebelum tertawa terbahak-bahak.
"Ya ampun kamu menggemaskan sekali!" serunya membuatku melengos seketika. Matahari hampir mencapai titik kulminasi dan aku sudah mulai merasa kegerahan, berada di luar ruangan terlalu lama.
Mengambil napas dalam, aku berusaha menetralkan emosi. Mengais sisa-sisa ketenangan yang mungkin masih kumiliki. "Jika kamu lapar, makanlah. Aku akan pulang duluan. Penyelesaian yang sempurna, bukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Akhir
Romance(Sedang dalam Proses Penerbitan dan sebagian part sudah dihapus). Pemenang Wattys2019 kategori Romansa. Sinopsis Aarunya Hira Mahawira selalu merasa hidupnya sempurna. Ia dikelilingi cinta yang melimpah tanpa batas. Tertanam jelas di kepala bahwa ia...