Aku menatap Bayanaka yang kini membaringkan Taksa dengan sangat perlahan, menatap bocah itu beberapa detik lamanya, lalu menunduk, mendaratkan sebuah kecupan di kening Taksa yang kini tertidur lelap karena kelelahan.
Melangkah mendekat, aku yang tadi langsung menyusun tas bersama beberapa perlengkapan sekolah Taksa di lemari penyimpanan yang khusus disediakan di kamar bocah itu. Rasanya agak sedikit mengusik saat melihat bagaimana kasih sayang terpancar jelas dari cara Bayanaka menatap Taksa, pancaran yang tidak pernah tersorot dari manikku-dulu.
Jujur saja, kini aku tidak tahu perasaan apa yang sebenarnya kurasakan saat menatap atau sekedar mengingat Taksa. Yang jelas rasa benci itu sirna tanpa kusadari. Beberapa saat aku sempat merasa begitu kosong dan rapuh, tidak memiliki sosok yang bisa dipersalahkan itu menyebalkan. Pantas saja beberapa manusia senang mencari kambing hitam.
Namun, fakta yang terungkap, yang memperjelas posisi Taksa dan Bayanaka membuatku kelimpungan. Di sudut dunia mana pun, menjadi anak dari wanita kedua tidak pernah mudah. Dan Taksa harus mengelamai hal itu dalam usia yang begitu muda. Membuat rasa sedih tumbuh liar dalam hatiku saat memikirkan bocah itu.
"Mendekatlah...." Bayanaka tampak begitu tenang, menatapku dari sisi ranjang tempat Taksa terlelap.
Aku melangkahkan kaki semakin dekat, tapi berhenti di sisi ranjang lain. Lebih memilih menarik selimut untuk menetupi tubuh bagian bawah Taksa.
"Menurutmu, jika aku kembali ke rumah bundaku dan membawa Taksa, itu akan baik untuk perkembangannya? Mengingat betapa sibuknya pekerjaanku?"
Itu pertanyaan mengejutkan, jujur saja. Lelaki ini seolah sedang meminta pertimbangan penting.
"Bukankah kita sudah sepakat?" Pertanyaan itu terlontar ragu dariku.
"Belum, kesepakatan kita hanya sampai urusanku tentang acara setelah pemakaman bunda tuntas, bukan menyeluruh tentang adik kita."
Aku membenarkan dalam hati ucapan Bayanaka. Sampai saat ini kamu belum pernah mencapai titik temu tentang apa yang bisa dilakukan untuk masa depan Taksa. Tanggung jawab jelas berada di tanganku dan Bayanaka, karena Taksa kini tak lagi memiliki orang tua, selain mama yang tentu saja hanya ibu tirinya.
Tidak semua ibu tiri jahat dan kejam, setidaknya mamaku tidak akan pernah menyakiti Taksa secara fisik dan jika menyangkut kesejahteraan bocah itu, mama jelas bisa menjaminnya. Hanya saja psikis Taksa telah cidera, dan mamaku memiliki andil paling besar di dalamnya. Ditambah persilisihan mama dengan keluarga Mahawira yang belum mencapai kata damai. Akan sulit menyerahkan Taksa untuk dididik mama secara penuh.
"Maka yang pertama-tama perlu kita lakukan adalah membuat kesepakatan bukan?"
Senyum Bayanaka merekah. "Benar, mari membuat kesepakatan."
"Tapi tidak di sini."
"Tidak di sini?"
"Kita... mungkin akan membutuhkan waktu lebih banyak dalam proses mencapai kesepakata itu. Kamu tahu, kita tidak terlalu cocok dalam adu pendapat."
"Justru aku selalu merasa cocok denganmu... dalam segala hal."
Tak mengindahkan ucapan Bayanaka, aku menagakkan badan. "Ikuti aku, kita bicara di tempat lain. Lagi pula kamu tidak lupa kan memiliki hutang penjelasan yang menumpuk padaku?"
*****
Aku memandang taman yang kini tampak gelap dari balkon lantai dua rumahku dengan Bayanaka yang duduk hanya dibatasi meja, hujan telah turun, meski berbentuk gerimis kecil. Setidaknya itu mampu membuat langit menghilangkan bintang dari pandanganku pada malam ini. Aku ingat pernah berbicara seperti ini dengan Bayanaka, dalam suasana berbeda tentu saja, dalam jenis emosi yang jelas bertentangan pula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Akhir
Romance(Sedang dalam Proses Penerbitan dan sebagian part sudah dihapus). Pemenang Wattys2019 kategori Romansa. Sinopsis Aarunya Hira Mahawira selalu merasa hidupnya sempurna. Ia dikelilingi cinta yang melimpah tanpa batas. Tertanam jelas di kepala bahwa ia...