TITIK AKHIR XLV

27.6K 4.4K 250
                                    

Genks jangan bully aku ya🙈🙈🙈 aku lupa nama papa Hira siapa😂 jadi kalo ada yg masih inget, kasih tau aku, oke? Biar bisa langsung kuedit😅

Setiap langkah yang diambil tante Pian menunjukkan jelas bagaimana kemarahan kini merajainya. Dan aku, entah mengapa seolah hilang kemampuan untuk memasang tampang baik-baik saja yang biasa kutunjukkan pada saudari dari papa yang selalu merasa paling berkuasa ini.

"Bisa kamu jelaskan tentang apa yang baru saja Tante lihat, Hira?" Tante Pian berucap mirip seperti geraman, dengan mata yang menatap tajam pada genggaman Bayanaka yang makin mengerat di tanganku.

Sebenarnya aku ingin melepas genggaman tangan kami, tapi Bayanaka tak melonggarkan sedikitpun genggamanannya. Membuatku menyerah berusaha. Lelaki ini tampak tak gentar, seolah ingin menunjukkan segalanya pada tante Pian. Bahkan kini aku mulai merasa melihat sinar girang terpancar dari mata Bayanaka kala menatap tante Pian yang murka.

"Kenapa hanya diam? Apa kamu tuli?"

Kata-kata pedas yang keluar dari mulut tante Pian berhasil melibas rasa terkejutku, merubahnya menjadi sikap defensif yang selalu kutunjukkan saat berhadapan dengannya.

Oh aku tak pernah memiliki sejarah yang baik dengan saudari papa ini. Sikapnya yang otoriter dengan  persinggungan masa lalu yang bisa dikatakan tak baik  dengan mama, tidak bisa membuatku menundukkan kepala dan menjadi keponakan yang manis untuknya.

"Atau kamu akan menunggu lelaki tak bernyali ini mengeluarkan pembelaan untuk apa yang kalian lakukan?" Sinis dan penuh cibiran. Aku tahu bahwa tante Pian sedang berusaha meluluh lantakkan kepercayaan diriku. Menyudutkan sekeras yang ia bisa.

"Maaf." Bayanaka menyela dengan begitu tenang." Tapi Tante, Hira tidak membutuhkan saya untuk membelanya dari siapapun, terutama dari Tante." Tatapan Tante Pian beralih tajam pada Bayanaka. "Oh... dan satu lagi, saya tidak membuka suara semenjak tadi, bukan karena saya adalah lelaki pengecut yang mengandalkan wanitanya untuk memasang badan. Hanya saja, dari kecil Bunda saya mengajarkan bahwa ketika ada orang tua yang berbicara, sebagai yang lebih muda kita harus mendengarkan sampai selesai, dan lebih baik lagi menjawab ketika dipersilakan. Sangat tidak sopan rasanya, menyela apalagi memotong ucapan orang lain. Jadi bagaimana saya bisa mematahkan ajaran bunda saya dan menjawab ucapan Tante saat Tante berbicara tanpa jeda seperti barusan?"

Wajah tante Pian merah padam. Dan jika manusia bisa mati hanya dengan sebuah tatapan, aku yakin bahwa Bayanaka pasti sudah mati menggelepar dengan tubuh bersimbah darah karena tatapan mata tante Pian yang menghunus padanya.

"Pintar sekali kamu bicara! Kamu mengira dengan berucap seperti itu, pandangan saya tentang kamu akan berubah, hah?!"

"Mm... sebenarnya bunda saya juga mengajarkan, bahwa pandangan manusia terhadap diri kita tidaklah terlalu penting. Karena penilaian manusia itu cenderung subjektif, Tante. Jadi selama kita sudah bersikap baik, kita tidak akan rugi apa-apa jika pada akhirnya kita tetap dipandang buruk. Satu lagi, kata bunda saya, yang paling penting adalah pandangan Tuhan kepada kita, karena yang memberi hidup adalah Tuhan, bukan sesama manusia, yang jelas-jelas cuma makhluk yang berstatus hamba."

Bayanaka menjawab dengan tatapan polos dan penuh senyuman. Mengingatkanku pada jawaban murid-muridku yang lugu tanpa dosa, meski aku tahu jelas bahwa tujuan Bayanaka mengucapkan kata-kata itu pada tante Pian  untuk memberikan sindirian pada wanita paruh baya itu.

Dan benar saja, aku bisa melihat tante Pian mengepalkan tangan, tampak benar-benar berusaha menahan emosi. "Lancang kamu!"

Ucapan Pian yang keras membuat Taksa yang dalam gendongan Bayanaka terganggu. Bocah itu tampak bergerak tak nyaman, membuatku langsung khawatir jika sampai ia bangun. Aku tidak ingin Taksa bertemu dengan Tante Pian, bocah itu  telah cukup tertekan saat melihat Bayanaka terluka di pantai. Dan berhadapan dengan tante Pian yang sedang emosi dengan mulut yang penuh kata-kata tajam yang bisa saja diarahkan pada Taksa, hanya akan membuat bocah itu lebih tertekan.

Titik AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang