Aku mengerutkan kening saat melihat nomer asing tertera di layar ponselku yang menyala. Aku baru saja sampai di rumah setelah kembali lembur di sekolah. Berniat mandi lalu beristirahat sejenak adalah rencanaku untuk menghabiskan sore ini, sebelum panggilan masuk yang terpaksa membuatku mengurungkan niat untuk membuka seragam sekolah yang masih menempel di badan.
"Hallo-"
'Aarunya Hira Mahawira, sebaiknya kamu segera datang ke Rumah Besar. Tante sudah tidak sanggup menghadapi mamamu!'
Untuk beberapa saat setelah telepon itu ditutup aku masih bisa merasakan bagaimana jantungku bertalu mengerikan. Mamaku... apa yang dia lakukan di rumah kakek? Di kediaman keluarga Mahawira?
Oh tidak, itu adalah pertanyaan yang tidak membutuhkan berpikir keras untuk mampu dijawab. Dari nada suara tante Pian, aku sudah bisa menebak apa yang tengah dilakukan mama.
Memejamkan mata beberapa saat, berusaha menenangkan diri, aku lantas meraih tas kerja yang baru kuletakkan lalu berderap keluar kamar menuju garasi setelah mengambil kunci mobil papa. Ini adalah pertama kalinya aku mengendarai mobil papa setelah sekian lama, dan itu untuk menuju tempat yang menjadi akar malapetaka dari kehidupan sempurnaku dulu.
*****
Aku memandang dalam diam dari balik kemudi pada bangunan besar yang tak lain adalah kediaman keluarga Mahawira-keluarga papaku-baiklah keluargaku juga. Aku belum sekurang ajar itu untuk mengikngkari darah yang mengalir di tubuhku.
Tempat ini terasa asing, meski keberadaanku tak pernah ditolak di sini, atau haruskah aku mengatakan bahwa kehadiranku bahkan selalu ditunggu? Tidakkah itu berlebihan karena di sisi lain aku adalah 'ketidak beruntungan' bagi keluarga ini?
Iya, meski aku terlahir sebagai perempuan, kasih sayang luar biasa papa membuat anggota keluarga Mahawira lainnya memperlakukanku berbeda tepatnya sedikit lebih istimewa. Berbanding terbalik dengan perlakuan mereka pada mama, meski selalu berusaha tampak ramah, aku tahu cara saudari-saudari papa, terutama tante Pian, tidak bisa dikatakan ramah. Betapa kontradiktif bukan?
Aku menghela napas besar saat kemudian memutuskan keluar dari mobil yang telah kuparkirkan di halaman luas keluarga Mahawira. Senyum ramah dari wanita tua yang kuingat sebagai seseorang yang telah mengabdi lama pada keluarga papa menyambutku hangat.
"Non Hira sudah datang, ayo masuk, Non. Ibu Amira juga sudah datang."
"Iya, Bi."
"Saya akan siapkan susu kedelai kesukaan, Non. Tapi saya harus memberitahu Kakek kedatangan Non dulu. Semuanya sedang berkumpul di ruang keluarga, pasti senang jika tahu Non Hira datang-"
"Tidak perlu memberitahu, Bi. Biar saya datang sendiri ke sana. Bibi tolong buatkan saja susu kedelai untuk saya, bisa?"
"Bisa, Non. Sangat bisa. Kalau begitu, Bibi permisi ke dapur dulu ya, Non."
Aku hanya menanggapi dengan anggukan dan senyum tipis pada wanita tua yang kini tergopoh menuju dapur yang terletak di bagian paling belakang bangunan rumah ini. Meninggalkanku yang kini mematung beberapa langkah dari ruang keluarga saat mendengar suara sengit saling berbalas dari arah sana.
"Kamu! Sampai kapan kamu ingin mengacaukan keluarga kami?! Berani-beraninya kamu mempermalukan kami seperti ini setelah sekian lama kami berusaha menerimamu!"
Aku tak perlu berada di sana untuk melihat, betapa murka tante Pian saat melontarkan kalimat itu.
"Saya tidak pernah ingin mempermalukan siapapun."
"Tidak ingin? Ini yang kamu sebut tidak ingin?! Membawa anak dari wanita yang kamu paksakan pada adikku? Apa kamu sudah gila? Hah?!"
"Apa yang salah? Anak itu adalah keturuan adik kalian. Sudah seharusnya ia mengenal keluarga ayahnya." Suara mama terdengar begitu santai, seakan belum puas memancing amarah tante Pian. Membuatku mengerutkan kening.
![](https://img.wattpad.com/cover/166708329-288-k835589.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Akhir
Romance(Sedang dalam Proses Penerbitan dan sebagian part sudah dihapus). Pemenang Wattys2019 kategori Romansa. Sinopsis Aarunya Hira Mahawira selalu merasa hidupnya sempurna. Ia dikelilingi cinta yang melimpah tanpa batas. Tertanam jelas di kepala bahwa ia...