TITIK AKHIR XXIV

30.4K 5K 422
                                    

Aku menyaksikan segalanya, seperti penonton yang diseret paksa menyaksiakan adegan meski tak ingin dan berharap bisa kabur. Aku melihat bagaimana Bayanaka memandangku penuh rasa sakit, sebelum kemudian berbalik tanpa kata, memusatkan perhatiannya pada proses pengurusan jenazah bundanya yang kemudian akan dibawa ke kediaman mereka dengan ambulan dari rumah sakit.

Taksa dalam dekapanku pun tak bersuara. Tidak seperti dulu saat kematian papa, kini bocah itu seolah memahami keadaan, belajar dari setiap kejadian, meski meraung dan memohon sekuat tenaga, tak ada manusia yang bisa menolak kematian.

Aku tak meminta Bayanaka untuk mengalihkan perhatian meski sejenak pada Taksa, karena hanya lewat sorot mata, aku paham bahwa Bayanaka ingin aku menjaga adiknya-adik kami untuk sementara. Ya Tuhan, benar, adik kami!

Butuh lebih dari satu jam hingga semua proses administrasi dan pengurusan jenazah diselesaikan, dan selama itu, aku memangku Taksa di kursi depan ruang rawat inap Bulan, hanya berdua, karena mama sama sekali tak pernah meninggalkan wanita itu, bahkan mama ikut masuk ke ruang jenazah, sedang Bayanaka sibuk mengurus segala sesuatu yang agar bisa membawa bundanya keluar dari tempat yang di mataku penuh duka kini.

"Apa kamu lapar?" Setelah sekian lama membisu, aku mencoba membuka percakapan dengan Taksa yang sejak tadi masih menangis dalam diam. Ini hampir malam dan semenjak bertemu di kediaman Mahawira, aku tahu Taksa tak pernah memasukkan apapun ke perutnya.

Gelengan dari Taksa membuatku menghela napas dalam. "Apa kamu mau minum? Aku akan membelikan susu kemasan? Mau?"

Tawaranku kembali dibalas gelengan lemah bocah itu.

"Kamu harus makan, nanti sakit." Taksa masih tak berbicara, mebuatku tahu harus lebih gigih mencoba. "Setidaknya katakan apa yang kamu inginkan, agar aku bisa carikan-"

"Bunda...."

Aku menahan napas, menatap pucuk kepala Taksa yang berada di depanku. Itu jawaban yang tak terduga dan memang harusnya terdengar lumrah untuk anak yang baru saja kehilangan ibunya. Namun, mengapa aku sampai kehilangan kemampuan untuk merangkai kata, setidaknya menghibur anak ini?

"Dengar, Taksa...."

"Bunda nggak akan balik, kayak Papa. Aksa tahu." Suara Taksa begitu lirih, kini pundakanya merosot, membuatku menyadari arti jawabannya yang pertama. Taksa tak sedang meminta ibunya dikembalikan seperti anak-anak pada umumnya. "Sekarang Kak Naka nggak perlu minta Aksa nungguin Bunda lagi.Aksa nggak perlu capek nunggu, tapi abis ini Aksa harus gimana?"

"Taksa...."

"Kemaren Aksa nunggu Bunda bangun, nggak apa-apa kalo lama, tapi sekarang... nunggu sampe lama, sampe capek banget aja... Bunda nggak bakal pernah bangun. Terus Aksa harus gimana? Aksa mesti ngapain kalo nunggu Bunda bangun aja udah nggak bisa?"

Aku tahu tak akan pernah bisa menjawab pertanyaan Taksa, meski kini tangis bocah itu mulai terdengar lebih keras, karena itu aku lebih memilih mengeratkan dekapanku. Dan untuk kali ini, aku menangis karena alasan yang tak pernah kuduga, kehilangan yang dirasakan Taksa.

****

Aku membuka mata dan langsung memegang kepalaku yang terasa pening. Aku hendak melihat jam di pergelangan tangaku, saat menyadari bahwa ada tubuh yang kini tertidur bersandar di badanku, Taksa.

Dengan sangat pelan aku menarik tanganku, melihat jarum jam di sana sudah menunjukkan pukul empat sore. Aku tak pernah menyangka bisa terlelap setelah melewati salah satu hari terburuk selain kematian papa dalam hidupku.

Kami sampai di kediaman Bulan hampir tengah malam dan disambut oleh para tetangga yang langsung mengerubungi jenazahnya, menangis dan melantukan doa bergilir tanpa henti. Rumah Bayanaka hampir sama besar dengan rumahku, dan dipenuhi oleh pelayat keesokan paginya, hal yang membuatku menyadari bahwa wanita bernama Bulan itu pasti adalah wanita yang pandai bergaul, dan melihat raut sedih di wajah pelayat, bisa dipastikan dia sosok yang baik.

Titik AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang