TITIK AKHIR XIV

32.1K 4.8K 302
                                    

Seharusnya PART INI menjadi puncak konflik pertama, agar kita bisa menyelesaikan semua pertanyaan. Hanya saja, jika nekat, maka akan terlalu panjang dan mengingat mood menulis saya yang sempat lenyap. Sulit sekali melakukannya. Saya mohon maaf, jika ada yg kecewa 🙇🙇🙇

Plis jan ada yg komen 'kok pendek?' 😢😢😢 nulis part ini aja berat cuy

*****

"Iya Tante, kami akan segera kembali." Suara Bayanaka yang kini menelepon terdengar meningkat, mungkin untuk mengalahkan kebisingan dari deru kendaraan lain yang sekarang berlalu lalang di jalan di depan kami. Sesekali ia memberi intrusksi pada dua pelayan toko yang kini memasukkan lima puluh snack box ke dalam bagasi dan kursi belakang mobil, sementara aku, hanya menatap tanpa berniat ikut membuka suara.

'Syukurlah, Tante mengira kalian tidak akan bisa menemukan toko kue yang siap membantu.'

"Ini berkat Hira, Tante. Dia menemukan toko yang cekatan tepat waktu." Bayanaka bicara sambil tersenyum ke arahku yang tentu saja kubalas dengan ekspresi datar dan alis terangkat. Aku sedang tidak ingin dipuji, suasana hatiku sedang buruk. Bisa bersikap sopan dan 'tidak meledak' selama proses pemesanan snack box ini saja, adalah sesuatu yang diam-diam sangat aku syukuri.

'Apa Hira masih kesal, Nak Naka?' Aku mendengkus pelan, berusaha agar dua orang pekerja toko tidak menyadarinya, suara mama yang terdengar dari ponsel Bayanaka yang speaker-kan terdengar begitu khawatir. Aku memang kesal jika tidak ingin dikatakan marah, tapi itu bukan karena mama.

"Sedikit," jawab Bayanaka sambil mengerlingkan mata padaku.

'Oh... Ya Tuhan, maaf-'

"Tidak apa-apa, Tante. Saya hanya bercanda. Dia mungkin masih kesal, tapi saya rasa itu bukan karena Tante. Hira bukan tipe manusia yang akan mau melakukan sesuatu sesuai perintah orang yang membuatnya kesal."

Secara tak sadar aku menatap Bayanaka dengan kening berkerut, rasa heran yang muncul karena apa yang diucapkannya. Ia hanya lelaki asing yang tiba-tiba masuk ke dalam kehidupanku, tapi entah mengapa lelaki ini seolah memahamiku.

'Syukurlah ... Tante merasa bersalah pada Hira. Dia tertekan dengan semua yang terjadi hari ini.'

"Dia gadis yang kuat Tante. Kita semua tahu itu." Aku masih menatap Bayanaka, kali ini bahkan kerutan di keningku bertambah dalam. Ada makna ganda dalam kalimatnya dan aku terlalu bingung untuk bisa meraba artinya.

'Baiklah, terima kasih karena sudah bersabar untuk Hira, Nak, dan tolong hati-hati di jalan.'

"Siap, Tante. Saya tutup dulu teleponnya, kami akan berangkat pulang. Assalammualaikum."

'Iya, Nak. Wa'alaikumssalam.'

Suara panggilan yang tertutup tak juga membuatku bisa mengalihkan pandangan dari Bayanaka, bahkan ketika lelaki itu kini memasukkan ponsel ke kantung celana jeans-nya lalu menatapku dengan senyum geli.

"Menguping pembicaraan ternyata bisa membuatku terlihat menarik di matamu, tapi sebaiknya kamu harus segera berhenti menatapku. Kita harus pulang bukan?"

Melengos sebagai respon atas ucapan Bayanaka, aku pun segera memasuki mobil, membuatnya hanya bisa mengulum senyum.

******

Aku membuang pandangan ke luar kaca mobil, bangunan-bangunan yang terlewati jauh lebih menarik untuk dijadikan pengalihan kekesalan saat ini. Bahkan lampu-lampu seolah berlomba menghiburku. Aku merasa lelah, secara fisik terutama mental. Ini sudah malam dan sama sekali tak mendapatkan istirahat semenjak pagi, adalah mimpi buruk bagiku, apalagi di saat perang urat saraf yang terus berkobar di dalam keluargaku.

Titik AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang