TITIK AKHIR XXVII

30.9K 5.2K 323
                                    

Sebenernya aku tadinya gk up hari ini. Aku insomnia parah dan hari ini tubuhku lemes dengan kepala yg disko😷😷😷

Tapi pas mau bales komen dan liat vote nyampe 2 k ditambah komen lebih dari 400-an, kok aku ngerasa bersalah gk up?😅

Terima kasih ya buat aku semangat lagi, dan maaf kalo part ini gk maksimal😢😢😢

🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

Aku menarik resleting jaket Taksa lalu menyerahkan satu sachet jamu pencegah masuk angin anak padanya. Taksa dengan cepat menghabiskan isinya.

"Makasi Kak Hira," ucap Taksa sopan sebelum melangkah ke bagian dapur, mencari tempat sampah untuk membuang sachet belas tersebut.

"Kamu jadi pergi?" Aku menatap mama yang kini sudah mengisi tumbler dengan air hangat untukku. Mama tampak antusias meski ia telah berusaha mengontrol ekspresinya.

"Iya," jawabku singkat sebelum meraih tumbler yang disodorkan mama.

Saat sarapan tadi aku sudah meminta izin pada mama untuk pergi mengunjungi makam papa seperti yang diusulkan Bayanaka semalam. Ada kilat terkejut di wajah mama sebelum berubah menjadi haru yang akhirnya membuat mama menghapus air matanya saat mendengar ucapanku.

Aku tahu ini cukup terlambat, untuk anak perempuan yang menjadikan papanya sebagai cinta pertama dan dalam kasusku masih satu-satunya, mengunjungi makam papa setelah melebihi empat puluh hari kepergiannya pasti terdengar menyedihkan dan kejam.

Sejujurnya, aku pun ragu. Perasaan bersalah bergulung-gulung dalam dadaku. Kebingungan untuk mengurai segala rasa sakit yang selama ini kupendam, sempat membuatku mengurungkan niat.

"Kita ke sana untuk berdoa." Ucapan Bayanaka saat sarapan tadi, adalah hal yang langsung mampu mengurangi raguku. Lelaki itu seolah memahami bahwa aku belum terlalu yakin akan keputusan yang berawal dari gagasannya itu.

"Taksa tetap ikut?" tanya mama setelah terdiam beberapa saat.

"Dia memaksa ikut." Aku menatap mama yang kini terlihat bersalah. "Lagi pula Hira harus pulang ke rumah dan seperti kesepakatan dengan Bayanaka, untuk sementara Taksa ada di bawah pengawasan Hira," sambungku kembali.

"Apa ini tidak membebanimu, Nak?"

Aku menatap mama cukup lama, lalu menggeleng pelan dengan senyum miris. Sejauh ini, setelah begitu banyak kehilangan yang kualami ditambah penjelasan Bayanaka tentang bundanya semalam, aku berusaha untuk meleburkan amarahku pada mama. Aku tahu tidak hanya papa yang harus kuterima  lengkap dengan alpanya. Mungkin mengembalikan perasaanku pada mama seperti semula tidak akan bisa dalam sekejap, hanya tetap saja mama tetaplah ibuku, keegoisan mama tak lantas mampu memusnahkan cinta yang ia curahkan selama ini untukku. Jadi, ketika mama berusaha mengorek lagi alasan dari rasa sakitku, aku merasa sedikit... terusik dan itu sama sekali tak baik.

"Kita sudah membahas ini kemarin, Ma."

"Mama... merasa terlalu banyak membuatmu tertekan, Mama...." Mama tak melanjutkan kalimatnya, hanya kembali menatapku dengan matanya yang kembali berlinang. Sudahkah kukatakan bahwa aku benci melihat mamaku menangis? Dan pagi ini aku benar-benar keberatan untuk melihat air matanya, lagi.

"Kita jangan bahas ini sekarang, Ma. Hira tidak dalam kondisi mampu terlibat percakapan 'berat' sepagi ini." Tidak ada nada sinis dalam suaraku, tapi mama tersenyum sedih saat akhirnya memilih diam.

"Sudah siap?"

Tidak!

Iya, aku ingin menjawab seperti itu pada Bayanaka. Lelaki yang kini sudah menggendong Taksa itu tersenyum cerah sekali.

Titik AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang