TITIK AKHIR XXII

30.5K 5.2K 628
                                    

Aku harus akui kalian semua hebat👏👏👏
Lihat betapa mudahnya sesuatu tercapai jika kita kompak bukan?😊

Terima kasih sudah buat aku bersemangat untuk melanjutkan karya ini🙏🙏🙏😍😍😍😍

Oh ya jangan bilang pendek ya, hampir 2000 word

🌸🌸🌸

Aku menghembuskan napas panjanhglalu memandang satu persatu manusia yang berada di ruangan ini dengan  tajam. Di mulai dari kakek, tante Pian, tante Arini, tante Widari, tante Cempaka, lalu berakhir di mama. Aku bisa melihat keterkejutan di wajah mama saat melihatku, dan aku tak membiarkan rasa lunak untuk menghapus kekhawatiran yang kini terbentuk  di sana.

Pandanganku selanjutnya jatuh ke Taksa, yang masih menatapku dalam diam. Seperti mendapat sebuah pukulan tepat di ulu hatiku. Aku mengepalkan tangan, tidak ingin ikut menjadi 'tidak waras' seperti manusia-manusia di ruangan ini yang dengan begitu tega menjejalkan kepahitan dalam bentuk peperangan kata-kata pada bocah lima tahun tanpa perlindungan itu.

Aku bukan orang baik, bukan pula manusia berhati malaikat yang dengan mudah melupakan dan memaafkan. Dalam diriku, masih ada sisa kemarahan pada takdir yang membuat Taksa hadir, dan aku pun tak bisa dengan lantang mengatakan bahwa aku telah  menerima keberadaan Taksa 100%. Aku tak ingin menjadi munafik, tapi aku juga tidak bisa menahan rambatan amarah dan rasa sakit saat melihat bagaimana wajah bocah itu menatapku, seolah aku adalah satu-satunya makhluk yang bisa menyelamatkannya dari kekacauan ini.

Aku berjalan mendekat ke arah Taksa, lalu berlutut di depannya yang kini sedikit menunduk ke arahku. Memperhatikanku dalam diam saat aku membuka tas yang sejak tadi kuselempangkan, lalu mengelurkan ponsel, mencari aplikasi musik di sana setelah menghubungkan dengan earphone terlebih dahulu.

"Aku punya lagu bagus, kamu mau dengar?"

Taksa tak mengucapkan apa pun saat mendengar pertanyaanku, bibirnya yang gemetar masih terkatup, tapi anggukan kepalanya yang buru-buru, menunjukkan betapa ia akan menerima setiap gagasan yang akan kukeluarkan.

Aku menjulurkan tangan, memasangkan earphone di telinga Taksa kemudian memberikan ponselku padanya. Saat aku merasakan betapa dingin kulit tangan bocah yang kini menggenggam erat ponsel itu, aku malah merasakan panas luar biasa di dadaku.

"Suka?" tanyaku pelan. Aku tahu Taksa tak akan bisa mendengar pertanyaanku karena volume musik yang sedikit kunaikkan meski tak sampai membahayakan pendengaran bocah itu. Namun, Taksa ternyata mampu membaca gerakan bibirku dan mengangguk sekali lagi. Iya, setidaknya kumpulan lagu anak penuh keriangan yang kini didengar bocah itu, mampu sedikit meredakan ketegangan Taksa.

Aku kemudian bangkit lalu mengulurkan sebelah tanganku pada Taksa, membuat bocah itu menerima dengan sebelah tangannya yang tak menggenggam ponsel. Aku menuntun Taksa yang kini menunduk mengikutiku berjalan ke arah kakek.

Kakek menatapku tanpa kedip saat aku bersimpuh di hadapannya, seperti sebuah tradisi yang selalu berlaku di keluarga Mahawira saat akan memberi hormat pada orang yang lebih tua dan dihormati.  Tanpa melepaskan genggaman tangan kiriku pada Taksa, aku langsung meraih tangan kakek, mencium punggung tangan itu dengan hormat sebelum kembali menegakkan badan, lalu tanpa kata berjalan menuju kursi yang tak pernah diduduki siapa pun semenjak kepergian papa, kursi papaku.

Aku mengabaikan kesiap terkejut yang keluar dari sebagain besar wanita di ruangan ini saat melihatku duduk di kursi papa dengan Taksa yang kini kududukan di pangkuan.  Taksa  mendongak ke arahku takut-takut, membuatku terpaksa mencabut salah satu earphone di telinganya.

"Aku punya game bagus di ponsel, kamu bisa pilih salah satunya." Aku tidak menunggu Taksa merespon lalu kembali memasangkan earphone di telinganya. Syukurlah bocah itu  cepat tanggap, karena kini ia sudah sibuk dengan ponselku kembali. Lagu dan game adalah satu-satunya tameng yang bisa kuberikan pada Taksa saat ini. Betapa sebuah peperangan yang tanpa persiapan.

Titik AkhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang